Rabu, 29 Agustus 2012
Kopi, Duta Pariwisata Indonesia
JAKARTA, KOMPAS.com - Kopi sangat erat kaitannya dengan pariwisata Indonesia. Sebab, kopi Indonesia merupakan salah satu kopi terbaik di dunia. "Salah satu dari industri kreatif yang tengah kita kembangkan, salah satu sektor terbesar yang harus kita jual adalah culinary. Dari culinary ini bisa makanan dan minuman. Pariwisata tanpa makanan dan minuman itu tidak mungkin. Kopi menjadi bagian penting dari industri kreatif," ungkap Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Selasa (28/8/2012).
Sapta mengungkapkan potensi kopi di Indonesia sangat beragam mulai dari Aceh, Sidikalang di Sumatera Utara, Lampung, Jawa, Bali, Flores, Toraja, sampai Wamena. Menurut Director Indonesian Coffee Festival 2012, Ellyanthi Tambunan, ada 14 provinsi penghasil kopi kualitas ekspor di Indonesia. Ia menuturkan kopi-kopi dari 14 provinsi di Indonesia tersebut memiliki 14 cita rasa yang berbeda-beda.
"Karakter dan rasanya berbeda. Sangat unik dan kita tak bisa temukan di belahan bumi mana pun. Karena itu, kami ingin adanya awareness (kesadaran) ini, supaya masyarakat Indonesia bisa bangga dengan produk-produk lokal," tutur Ellyanthi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Tuti Mochtar dari Indonesian Coffee Festival 2012 yang juga seorang ahli kopi. Ia mengungkapkan Indonesia merupakan produsen kopi terbesar ketiga di dunia.
"Pariwisata tidak bisa dipisahkan dengan minuman. Indonesia mempunyai kopi beragam dengan kualitas yang baik. Kita punya cara membuat kopi yang unik, seperti dengan kaos kaki, tubruk," ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa kopi juga sudah menjadi bagian dari gaya hidup dengan dibukanya kedai-kedai kopi. Para barista Indonesia yaitu peracik kopi yang bekerja dengan mesin espresso pun diharapkan memiliki keahlian lebih mengenai kopi Indonesia dan mengeluarkan cita rasa kopi Indonesia dengan mesin espresso.
Untuk semakin mengangkat kopi Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun berencana mengadakan Festival Kopi Indonesia pertama yang diberi tajuk Indonesian Coffee Festival 2012 di Ubud, Bali, pada 15-16 September 2012.
Festival ini merupakan hasil kerja sama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemkab Gianyar, Kerajaan Ubud, Asosiasii Kopi Spesial Indonesia, Komunitas Kopi, dan Blogger Kopi. Nantinya, selain menampilkan kopi-kopi dari berbagai daerah di Indonesia, dalam festival juga cara mengolah dan menyajikan kopi khas Indonesia.
Misalnya penyajian Kopi Tubruk dan Kopi Aceh yang menggunakan kaus. Keunikan dalam penyajian kopi menjadi daya tarik wisata kuliner sebagai bagian dari wisata minat khusus.
repro: http://travel.kompas.com/read/2012/08/29/13240934/Kopi.Duta.Pariwisata.Indonesia#
Kamis, 23 Agustus 2012
Sepotong Senja untuk Pacarku
ALINA TERCINTA,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja—dengan angin, debur ombak, matahari terbenam dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu per satu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni dan bias cahaya yang cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam di balik cakrawala.
ALINA YANG MANIS, ALINA YANG SENDU.
Akan kuceritakan bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kususupkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. “Barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena aku tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandangi langit berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
ALINA SAYANG,
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata senja itu memang menembus segenap celah dalam mobilku, sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko, dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan. “Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota. Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada peraturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kulibas dia sampai terpental-pental keluar pagar di tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru. Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bermain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar. Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tidak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendarnya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak mengempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini akan kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kota mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu ke setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gedung, rumah tua, tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke sebuah tempat yang tak pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “Di situ kamu aman.”
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Baunya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu. Namun, deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kuraba senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibakkan kelelewar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tak memancarkan kebahagiaan. Aku berjalan terus melangkahi mereka dan mencoba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada aku harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong, di tempat cahaya putih itu ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat yang persis sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak burung – tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama, tapi pasti bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasar lautan yang bening dengan lidah ombak yang mendesis-desis. Tak ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina – semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang berkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya berkepak dan berkepak terus di sana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untuk apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja…
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empas sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang tekasih.
Sampai di atas, setelah melewati kelelawar bergantungan, anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi berhelikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniupkan saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil menguyah pizza segera kukebut mobilku menuju ke pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari, laut, pantai dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya ilahi. Sepanjang jalan-layang, sepanjang jalan tol kutabcap gas dengan kekuatan penuh…
ALINA KEKASIHKU, PACARKU, WANITAKU,
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasangkan senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang “asli” ini untukmu, lewat pos. Aku ingin kamu mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti sebenarnya—bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong ini betul-betul gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tiada lagi karena seseorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
ALINA YANG MANIS, PALING MANIS, DAN AKAN SELALU MANIS,
Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas, hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuat tempat yang paling sunyi di dunia.
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Karangbolong-Jakarta, 1991
Kompas, 9-2-1992
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja—dengan angin, debur ombak, matahari terbenam dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu per satu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni dan bias cahaya yang cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam di balik cakrawala.
ALINA YANG MANIS, ALINA YANG SENDU.
Akan kuceritakan bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kususupkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. “Barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena aku tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandangi langit berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
ALINA SAYANG,
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata senja itu memang menembus segenap celah dalam mobilku, sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko, dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan. “Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota. Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada peraturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kulibas dia sampai terpental-pental keluar pagar di tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru. Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bermain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar. Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tidak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendarnya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak mengempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini akan kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kota mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu ke setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gedung, rumah tua, tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke sebuah tempat yang tak pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “Di situ kamu aman.”
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Baunya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu. Namun, deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kuraba senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibakkan kelelewar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tak memancarkan kebahagiaan. Aku berjalan terus melangkahi mereka dan mencoba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada aku harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong, di tempat cahaya putih itu ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat yang persis sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak burung – tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama, tapi pasti bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasar lautan yang bening dengan lidah ombak yang mendesis-desis. Tak ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina – semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang berkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya berkepak dan berkepak terus di sana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untuk apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja…
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empas sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang tekasih.
Sampai di atas, setelah melewati kelelawar bergantungan, anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi berhelikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniupkan saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil menguyah pizza segera kukebut mobilku menuju ke pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari, laut, pantai dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya ilahi. Sepanjang jalan-layang, sepanjang jalan tol kutabcap gas dengan kekuatan penuh…
ALINA KEKASIHKU, PACARKU, WANITAKU,
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasangkan senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang “asli” ini untukmu, lewat pos. Aku ingin kamu mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti sebenarnya—bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong ini betul-betul gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tiada lagi karena seseorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
ALINA YANG MANIS, PALING MANIS, DAN AKAN SELALU MANIS,
Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas, hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuat tempat yang paling sunyi di dunia.
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Karangbolong-Jakarta, 1991
Kompas, 9-2-1992
Jumat, 10 Agustus 2012
Pelajaran Mengarang
PELAJARAN mengarang sudah dimulai.
“Kalian punya waktu 60 menit,” ujar Ibu Guru Tati, anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul kedua Liburan ke Rumah Nenek. Judul ketiga Ibu.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kacamatanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
SEPULUH MENIT segera berlalu. Tapi Sandra, 10 tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang ke luar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin yang kencang. Ingin rasanya ia lari ke luar kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati mnyuruhnya berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Liburan ke Rumah Nenek dan Ibu. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang sepreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus-menerus mendengkur bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
LIMA BELAS MENIT telah berlalu. Sandra tak mengeri apa yang harus dibayangkannya tentang sebuah keuarga yang bahagia.
“Mama, apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu saja punya anak setan! Tapi tidak jelas siapa! Dan kalau pun jelas siapa, belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tidak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas di tulisnya.
DUA PULUH MENIT telah berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan Liburan ke Rumah Nenek dan yang masuk dalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan rewel anak setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau ke luar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”
Sandra sampai sekarang tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk di ruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menunjuk-menunjuk mereka.
“Anak kecil kok di bawa kesini sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang ke luar jendela. Ada langit yang biru di luar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
TIGA PULUH MENIT lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang Ibu. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi.
Apakah wanita itu ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
“Mama, Mama, kenapa menangis Mama?”
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih teringat kejadian itu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan, “Diam anak setan!” atau “Bukan urusanmu anak jadah!” atau “Sudah untung kamu kukasih makan dan kusekolahkan baik-baik, jangan cerewet kamu anak sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergeletak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
“Mama kerja apa sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam suatu bahasa, yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini dan plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapatkan boneka, baju, es krim, kentang goreng dan ayam goreng. Dan setiap kali Sandra makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seperti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepoan dengan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra…”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita, dari sebuah buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita, wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
“Berjanjilah pada Mama kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tidak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluarkan asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat dan pager…
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri di muka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
DITUNGGU DI MANDARIN, KAMAR 505, PKL 20.00.
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan sangat merindukan wanita itu, tapi, begitulah, ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkannya.
EMPAT PULUH MENIT lewat sudah.
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu Guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang terlalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Beberapa di antaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari ke luar kelas.
“Kertasmu masih kosong Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. “Mama, Mama,” bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhannya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbagun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika di kolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan, “Mama, Mama,” Pipinya basah oleh airmata.
“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karangannya di meja guru. Sandra menyelipkan kertasnya di tengah.
DI RUMAHNYA, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separuh dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong: Ibuku seorang pelacur…
Palmerah, 30 November 1991
Kompas, 5-1-1992
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Ilustrasi dari: http://ekakurniawan.posterous.com/tiga-lukisan-mei-2008
Langganan:
Postingan (Atom)