Jumat, 08 Juli 2011

Esok Mentari Masih Terbit


"KRHOGH…Krhoggh… Krhogggh," terdengar keras dengkuran di pojok kamarku. Tak biasanya Dullah, sobat karibku, mendengkur sekeras malam ini. Dengan tubuh meringkuk memeluk bantal, begitu tentram tidurnya. "Mungkin ia tengah mimpi bersandingkan putri di atas kursi mewah yang beralaskan rupiah," pikirku geli melihat tidurnya yang pulas tiada terkira.

Udara malam ini begitu panas. Sudah 7 bulan lebih musim hujan berlalu, air sungai di belakang kamar kosku menyusut. Entah kenapa hingga bulan Ramadhan tiba, hujan seolah-olah ikut berpuasa. Nyanyian kodok yang biasanya terdengar riang gembira, kini berganti dengan kesedihan yang terbungkus dalam kebisuan. Hanya nyamuk, satu-satunya hewan yang tetap bersemangat berkeliaran dan mendengung-dengungkan nyanyian dari kedua sayap kecilnya di sekitar telingaku. Tak terasa lima ekor telah bergelayutan di beberapa bagian tubuhku. Berkali-kali mereka menyuntik kulit tubuhku, rakus dan haus darah. Plok! timpukku pada salah satu nyamuk. Tapi sial, meleset. “Uh! dasar nyamuk kota, rakus!” keluhku pada mereka yang gesit menghindari serangan lemah tanganku.

Kusulut satu dari tiga batang rokok 76 hasil ngutang di warung mbok Ijah. “Wuss,” kusemburkan asap penuh racun nikotin itu di sekeliling tubuhku. Lumayan, meski tak seperti baygon, sebagian nyamuk ngacir.

Perlahan kulirik jam dinding yang tampak cengar-cengir menatap kebuntuan fikiranku. Jam satu pagi. “Huh… aku harus coba menulis sekali lagi,” desahku pelan. Lemah aku beranjak dari tumpukan buku dan beberapa lembar koran harian menuju sebuah meja. “Tinggal seminggu lagi, aku harus dapat uang,” batinku sambil duduk menghadap mesin ketik tuaku. Sementara bayangan Supri, Jalal, Bagio, Safitri datang silih berganti menagih hutang.

Akhir-akhir ini akal dan hatiku memang cukup goyah. Pelbagai usaha telah kutempuh, mulai dari ngelamar pekerjaan hingga mencoba menulis di media nasional. Tapi hasilnya kosong. Entah, apakah Tuhan tengah menguji mentalku atau memang nasibku tertulis sial. Jujur saja hal ini berpengaruh pada kondisi jiwa dan kesehatan badanku yang berubah menjadi kurus dan ringkih. “Duh! Gusti Allah, Engkau adalah Dzat Maha Pemurah, semoga Engkau beri kemudahan hambaMu ini dalam mengais rizki,” ratapku dalam do’a.

Asap rokok mengepul pelan nan lebat dari ujung bibir hitamku, menambah suramnya lampu lima watt yang hampir jatuh di atas mesin ketik rentaku. “Tak…tak…tak…” bunyi jeruji-jeruji huruf dari mesin ketik tuaku pada sebuah kertas putih ukuran kwarto. Jari-jemariku bergerak-gerak lincah, menulis huruf demi huruf, merangkai kata-kata, dan membasutnya dengan indahnya sastra hasil belajar empat tahun di Perguruan Tinggi Swasta kala itu. “Yah…demi sebuah bangunan artikel ringan. Semoga usaha yang kesekian kali ini tak sia-sia lagi,” harap kalbuku.

-oOo-

“KRINGGGG…..” jerit jam beker yang tergeletak di samping telinga Dullah. Sejenak ia menggeliat, menghentikan mimpi indahnya. Kemudian bangkit dan terduduk lesu.

“Ndro! kamu nggak sahur?” tegur Dullah sambil menggosok kedua kelopak matanya yang ramai dengan kotoran mimpi panjangnya.

“Emangnya udah pukul berapa Dull?”

“Lho, hampir imsak Ndro. Nih lihat jam bekerku kalau nggak percaya!” katanya sambil bangkit duduk berkemul sarung.

“Wah, tak terasa hampir setengah empat. Ah… andai saja waktu bisa berhenti sejenak, menanti rampungnya tulisan ini,” desahku kesal.

Sebentar kuhisap dalam-dalam putung rokokku yang hampir habis, kemudian beranjak keluar ke arah pintu seraya berkata kepada Dullah, “kamu basuh muka kotormu dulu Dull, kita sama-sama ke warung Mbok Ijah.” Tanpa menjawab, ia bangkit berdiri dari duduknya, ngeloyor ke jeding.

Di warurng mbok ijah, aku hanya minum tiga gelas air putih, dua buah jajan kering dan tak lupa satu batang rokok Djarum 76 kesukaanku.

“Kamu enggak makan Ndro,” tegur Dullah lembut.

“Enggak.”

“Kenapa? Kamu bokek? aku ada uang,” kejarnya.

“Nggak usah Dull! trims, ini aja udah cukup. Bagiku bulan Romadhon kali ini harus dibiasakan ngirit, banyak nahan nafsu biar barokah,” kilahku. Padahal kantongku lagi kempas-kempis.

-oOo-

TEPAT pukul setengah sepuluh pagi, aku telah rampungkan tulisanku. Sejenak aku terdiam dalam editing. Setelah kuyakin tiada hal lagi yang penting, baru kemudian aku beranjak ke jeding. Sengaja aku hanya membasuh mukaku dengan sedikit air. Aku tak mandi sebab air cukup sedikit. Maklum, air di kota seperti Surabaya ini tak gratis lagi. Beberapa lembar rupiah harus melayang dari kantong bila ingin puas mandi. Tapi kesegaran mandi itu pun terasa percuma, karena sengatan-sengatan panasnya kota cepat merubahnya dengan peluh-peluh keringat.

Memang benar-benar kelewat. Saat ini bukan hanya BBM yang naik, air pun ikut-ikutan iri hati dan meloncat bertengger bersama BBM. “Hualah, emboh wiss!” umpatku dalam hati memikirkankan keberadaan negeri tercinta ini.

Tepat setengah sebelas, aku berangkat ke kantor pos di pusat kota. Dengan bekal sepuluh ribu rupiah, aku kirimkan lima buah tulisan yang kurampungkan selama lima minggu di lima media negeri ini. “Yah mudah-mudahan ada yang dilirik,” harapku di tengah terik matahari kota Surabaya.

Seusai kukirimkan lima tulisan itu, bersama panas—sahabat alamku—aku berjalan pulang ke kosku yang berjarak sekira 3 Km dari kantor Pos. Diiringi tetes-tetes peluh yang mengelilingi dahi dan sebagaian tubuh kurusku, lamat-lamat alam bawah sadarku berdiri menggantikan keteguhan alam nyata. Cukup jelas tergambar keluh-kesah Emakku waktu aku pulang kampung.

“Ndro… kapan kamu dapat kerja? Emak udah nggak mampu lagi nyari uang. Coba kamu usaha dikit-dikit, sudah sarjana kok masih nganggur! Apa nggak malu dengan gelarmu?!” tegur Emmakku sewot menyaksikan anak sulungnya yang nasibnya masih menggelantung.

“Sabar dikit kenapa sih Mak, saya kan lagi usaha nulis. Entar kalo jebol di media dan terkenal, nggak bakalan nyusahin Emak lagi,” jawabku yakin di tengah kelesuan jiwa.

“Jebal-jebol…udah berapa kali kamu janji, tapi nyatanya masih aja nganggur!” ketus Emakku. Sepi, tiada kata keluar dari bibir hitamku. Aku hanya bisa tersenyum kecut dengan kepala menunduk. Memang, aku sadar bahwa aku selalu gagal. Tiga tahun selepas dari PTS, tak satu pun dari tulisanku yang berkenan di hati media-media cetak di negeri ini.

Ngelamar pekerjaan? Waduh! nggak usah dibahas. Sudah sepuluh kali lebih aku meminang, tapi sepuluh kali lebih tolakan pula jawabanya. Entah, apakah memang karena indeks prestasiku (IP) yang kurang memuaskan? Atau bekerja itu harus lebih dulu nyiapin segepok uang untuk nyogok? Weleh! kalau yang terakhir ini, jelas aku nggak sudi. Bukan karena nggak mampu. Aku bisa kumpulkan segepok rupiah yang pernah disyaratkan beberapa instansi pemerintah dan swasta padaku. Tapi apalah arti semua itu? Bukankah itu nabrak hati nuraniku dan mencampakkan imanku? Tidak! Aku tak akan melakukan hal itu dan tidak akan pernah.

Bagiku, mendapat pekerjaan itu tak harus dengan segala cara. Ada prosedurnya sendiri dan harus dengan jiwa yang jantan. Lebih-lebih, aku tak akan merasa percuma belajar empat tahun di PTS jika aku mendapatkan pekerjaan tanpa melalui suap, melainkan dengan melihat kualitas ilmu dan kompetensiku dalam bidang pekerjaan tertentu. Meski IP-ku tak memuaskan bukan berarti aku lebih bodoh dari mahasiswa yang meraih cum laude. Sebab IP hanyalah formalitas. Bukan subtansi. Lagi pula, bukankah IP itu bisa dikompromikan?

“Duk!”

“Auww!” jeritku terkejut.

Tak kusadari dahiku telah membentur tiang listrik yang berdiri congkak di tengah trotoar.

“Jangkrik! Tiang jelek pembawa sial,” umpatku kesakitan sambil mengelus-elus dahiku yang memar akibat benturan.

“Duhh… kasihan. Melamun ya mas?” tegur seorang gadis yang kebetulan berada di belakangku.

“Ah! E…e..enggak. Hanya karena batu sialan saja aku tersandung,” kilahku.

Gadis itu hanya tersenyum sambil berlalu. Sementara aku tertegun. Seolah tak percaya melihat wajahnya, senyum manisnya dan resam tubuhnya. Kenapa ia sedemikian manis dan sedemikian persis dengan mendiang kekasihku, Yuanita Sastrawati?

Sedetik tergerak hatiku untuk memanggilnya, mengejarnya. Tapi, augh! Dahiku terasa sakit dan sedikit pening. Akhirnya dengan amat berat aku tepiskan niat tersebut. Lagi pula tak mungkin Yuanita hidup kembali. Ia sudah tiada. Mustahil ia kembali ke alam nyata.

Akhirnya, berat aku langkahkan kakiku membelok ke kiri, bergegas pulang ke rumah bu Cokro, ibu kosku.

-oOo-

PUKUL tiga sore, aku telah sampai di rumah bu Cokro, pemilik rumah kos. Seusai terucap salam dari mulutku dan dijawab si Upik, anak bu Cokro, aku langsung ngeloyor ke kamarku. Dullah tak terlihat batang hidungnya. Padahal siang begini ia biasa duduk-duduk di teras sambil menggoda si Upik. Tapi aku tak risaukannya siang itu. Selain dirundung rasa lelah dan sakit di dahiku, mataku terasa berat sekali. Aku belum tidur sejak tadi malam hingga siang ini.

Tak kuasa menahan cuaca yang panas, segera kulepas baju berlengan panjang yang menempel di tubuhku dan mengambil handuk kecil di almari dan kemudian menuangkan sisa air hangat dari tremos sisa tadi malam di atasnya. Sejenak hatiku lega merasakan hangatnya handuk yang aku letakkan di atas dahiku. Kemudian, bersama kondisi perut yang kempis karena berpuasa dan ditambah rasa lelah yang tiada tara, perlahan kurebahkan tubuhku di atas kasur yang terhampar di lantai kamar. Oh…begitu leganya hatiku dapat berbaring siang ini, melepas lelah dan mengikuti tuntutan mataku yang sayu menahan kantuk. Diiringi hembusan angin yang meniup pelan dari baling-baling kipas kecil yang ada di samping tubuhku, rasa lelah dan penat tubuhku berangusur-angsur hilang. Tapi ketika seluruh panca inderaku hampir sepakat untuk istirahat, sayup-sayup kudengar lagu Iwan Fals dari kamar sebelah,… Engkau sarjana muda, resah tak dapat kerja, tak berguna ijazahmu // Empat tahun lamanya bergelut dengan buku, sia-sia semuanya // Setengah putus asa, dia berucap, “ma’af Ibu…”

Aku hanya tersenyum. Biarlah Iwan bernyanyi demikian. Tapi jelas batinku berkata yakin, bahwa akan ada perubahan; entah esok, lusa, bulan depan, tahun depan atau bahkan menjelang kematiaanku. Perjuangan dan usahaku untuk memperbaiki keadaan musti berlanjut, kendati harus berpeluh dan berdarah-darah. “Huaahhh….letih benar jiwa dan raga ini. Bismillah, izinkan hambaMu istirahat,” do’aku menjelang tidur.*



Adib Minnanurrachim
Nurul Jadid, 03/07/2001

Sabtu, 02 Juli 2011

LAGU SATU [ H. I. D. U. P. ]


Oleh; Iwan Fals

Jalani hidup
Tenang tenang tenanglah seperti karang
Sebab persoalan bagai gelombang
Tenanglang tenang tenanglah sayang

Tek pernah malas
Persoalan yang datang hantam kita
Dan kita tak mungkin untuk menghindar
Semuanya sudah suratan

Oh matahari
Masih setia
Menyinari rumah kita

Tak kan berhenti
Tak kan berhenti
Menghangati hati kita

Sampai tanah ini inginkan kita kembali
Sampai kejenuhan mampu merobek robek hati ini

Sebentar saja
Aku pergi meninggalkan
Membelah langit punguti bintang
Untuk kita jadikan hiasan

Tenang tenang tenanglah sayang
Semuanya sudah suratan
Tenang tenang seperti karang
Bintang bintang jadikan hiasan

Berlomba kita dengan sang waktu
Jenuhkah kita jawab sang waktu
Bangkitlah kita tunggu sang waktu
Tenanglah kita menjawab waktu

Seperti karang
Tenanglah
Seperti karang
Tenanglah


[ Lagu yang bercerita tentang bagaimana menjalani hidup, dan menghadapi kehidupan. ]