untuk yang terdiam
seperti yang sudah-sudah
tiap senja menyapa, yang terdiam senantiasa turut serta
berlayar di samudera gelisah,
berlabuh di dermaga resah.
ketika senja lelap,
ia mendaki malam
punguti bintang,
jadikan hiasan di rambutnya yang berkerudung rembulan.
dan seperti biasa,
aku hanya menatap wajahnya yang tak bergoyang
dan kemudian menuliskan satu kalimat,
“sayang, kenapa kau terdiam?”
hanya matanya yang nyala menghujam
tepat di hati yang tak bisa mengelak
tentang pertanyaan
yang enggan ia utarakan
baiklah,
sederhana saja
dalam hatiku ada hormat
untukmu, perempuan.
tapi sudahlah,
diamlah bila ternyata itu adanya
untuk menilai dan mengambil kesimpulan
atau bila ternyata enggan, bahkan.
percayalah,
aku tak mempedulikannya
toh aku sendiri tak bisa menebak,
yang senantiasa tak bisa ditebak
suatu senja di Jakarta
Sabtu, 06/07/2010
Adib Minnanurrachim