Kamis, 27 Desember 2007

MASJID AGUNG BANTEN LAMA: NAFAS SEJARAH DAN BUDAYA


Masjid berarsitektur unik, perpaduan gaya Hindu Jawa, China dan Eropa. Tapi tetap sarat nilai-nilai Islami.

BERDIRINYA Masjid Agung Banten tidak lepas dari tradisi masa lalu, di mana dalam sebuah kota Islam terdapat minimal 4 komponen. Pertama, ada istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja-raja. Kedua, Masjid Agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, ada alun-alun sebagai pusat kegiatan dan informasi. Keempat, ada pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Keempat komponen ini, jejaknya masih terdapat di Desa Banten Lama Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang. Tapi yang masih kokoh berdiri dan berfungsi hingga saat ini hanya Masjid Agung.
Masjid Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah lainnya, selalu diramaikan para peziarah yang bisa mencapai ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa umumnya. Sering kali jumlah mereka mencapai puncaknya pada bulan Syawal, Haji, Maulud, Rajab dan Ruwah. Sementara setiap hari Kamis, Jumat dan Minggu juga menjadi hari pilihan bagi para peziarah untuk mengunjungi Masjid Banten. Ada juga waktu yang paling ramai yaitu malam Jum’at ketika malam 14 bulan purnama. “Mereka percaya malam Jumat tanggal 14 bulan purnama adalah waktu di mana para auliya’ berkumpul dan bermusyawarah sehingga dikeramatkan, dan bila berziarah pada tanggal itu doanya mustajabah. Meski faktanya, tidak semua orang berdoa dan beriktikaf di masjid, ada juga yang main-main,” kata M. Al Hatta Kurdie, Sie Pendidikan dan Informasi Kenadziran Masjid Agung Banten Lama.
Bangunan masjid yang terletak sekira 10 km sebelah utara Kota Serang ini merupakan peninggalan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), putera pertama Sunan Gunung Jati. Konon, pembangunan Masjid Agung Banten bermula dari instruksi Sunan Gunung Jati kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih suci untuk pembangunan Kerajaan Banten. Hasanuddin lalu shalat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah yang dimaksud ayahandanya. Setelah berdo’a, spontanitas air laut yang berada di sekitarnya menyibak menjadi daratan. Selanjutnya, Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta komponen-komponen lainnya, seperti alun-alun, pasar dan masjid agung.
Dalam pembangunan masjid agung, salah satu arsiteknya adalah Raden Sepat. “Raden Sepat mulanya dari Majapahit, kemudian membangun Masjid Demak, Cirebon dan Masjid Banten Lama ini. Jadi bukan ketaksengajaan bila antara masjid Demak, Cirebon dan Banten Lama secara arsitektur ada mata rantainya. Misalkan dari sisi atapnya, Masjid Agung Demak dan Cirebon itu memiliki atap tiga susun yang bermakna Iman, Islam dan Ikhsan. Ini hampir sama, hanya saja di sini lebih banyak yaitu lima susun, bermakna rukun islam,” kata Hatta Kurdie.
Selain Raden Sepat, beberapa kalangan menyebut Cek Ban Cut sebagai arsitek lainnya. Pendapat ini berangkat dari analisis pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom Pagoda China. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.
Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.
Sejauh ini belum ada arsitektur masjid yang serupa dengan Masjid Agung Banten. Hanya lukisan Masjid Jepara sekira abad ke-16 yang dibuat Wouter Schouten dalam Reistogt Naar en Door Oostindien dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1676 serta dicetak ulang tahun 1780 memperlihatkan masjid beratap tumpuk lima. Masjid yang lukisannya pernah dipublikasikan Francois Valentijn dalam Oude en nieuw Oost-Indien itu memperlihatkan idiom pagoda Cina, baik dari bentuk, ekspresi, hingga ukirannya.
***
ELEMEN menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Karena menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.
Menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini, konon dulunya lebih berfungsi sebagai menara pandang ke lepas pantai karena bentuknya mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Dan semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.
Catatan Dirk van Lier di tahun 1659 maupun Wouter Schouten yang datang pada tahun 1661 menyebut, menara masih digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata/amunisi orang Banten. Kemudian baru antara lain tulisan Stavorinus yang menulis tentang Banten tahun 1769 menyebut menara sebagai tempat memanggil orang untuk bersembahyang.
Berita itu menunjukkan pula menara telah dibangun tidak berselang lama dengan pembangunan masjid. Dari hasil penelusuran Dr KC Crucq, yang pernah dimuat dalam karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (Beberapa Catatan tentang Menara di Banten) yang dipublikasikan dalam Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie, dinyatakan, menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.
Seperti dikatakan Pijper (1947:280), menara berbentuk segi delapan itu mengingatkan pada bentuk mercusuar, khususnya mercu Belanda. Saat ini ada bukti peninggalan mercusuar buatan Belanda di Anyer sebelah barat Serang dari abad ke-19, yakni bangunan mercusuar yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan Menara Masjid Agung Banten. Bentuk tersebut lazim ditemukan di Negeri Belanda, seperti segi delapan, pintu lengkung bagian atas, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya memiliki dua tingkat. Dari sini, banyak pendapat yang menyimpulkan bahwa pembangunan menara segi delapan dan beberapa tiang penyanggah atap masjid yang juga bersegi delapan dipengaruhi arsitektur Belanda.
Tapi demikian, Hatta Kurdie berpendapat lain. “Masjid ini dibangun jauh sebelum Belanda masuk ke Indonesia. Belanda masuk Banten itu kan tanggal 22 Juni 1596. Sementara masjid ini dibangun tahun 1552. Ada juga pendapat lain, bahwa ini pengaruh dari Budha yang memiliki delapan dewa penguasa delapan penjuru mata angin. Tapi saya lebih sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa segi delapan pada menara dan ke 24 tiang penyangga atap masjid itu merupakan ide cerdas dari Raden Sepat. Delapan itu merupakan hasil pembagian dari 24 dibagi 3. Ke 24 tiang itu simbol waktu, 24 jam. Sementara 3 adalah simbol dari ibadah, ma’isyah dan istirohah. Jadi pesan yang ingin disampaikan, agar umat islam bisa memanfaatkan waktu seadil-adilnya untuk ketiga hal tersebut yang masing-masing memiliki alokasi waktu sebanyak 8 jam,” jelasnya.
Sementara itu, di sisi selatan masjid terdapat bangunan bertingkat bergaya rumah Belanda kontemporer yang disebut tiyamah (paviliun). Bangunan yang dirancang arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel di abad ke-18 itu dulunya menjadi tempat pertemuan penting. Saat ini, bangunan yang berdenah empat persegi panjang, dua tingkat dan masing-masing memiliki tiga buah ruang besar tersebut difungsikan sebagai museum benda peninggalan, khususnya alat perang. Langgam Eropa sangat jelas pada bangunan itu, khususnya pada jendela besar di tingkat atas. Jendela itu dimaksudkan memasukkan sebanyak mungkin cahaya dan udara.
***
SEBENARNYA masih banyak elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta.
Menurut Hatta Kurdie, labu tersebut merupakan simbol dari pertanian. Karena Banten Lama terkenal makmur, gemah rimpah loh jinawi. Bahkan pada masa kepemimpinan Maulana Yusuf , Banten terkenal dengan persawahannya yang luas hingga mencapai batas sungai Citarum. Dan keberadaan Danau Tasikardi merupakan bukti lain yang menguatkan pendapat ini.
Selain itu, terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Beberapa kalangan mengatakan, tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Sementara Hatta Kurdie mengatakan, mimbar itu merupakan buah karya Cek Ban Cut, arsitek kebangsaan China yang berganti nama menjadi Pangeran Wiradiguna setelah masuk Islam. Pendapat ini berangkat dari gaya arsitektur yang lebih mirip dengan budaya China, semacam pagoda. Bahkan warnanya pun mirip dengan klenteng.
Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.
Adanya pendopo dan kolam untuk wudu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. Tiang pendopo yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf itu juga menggunakan umpak batu labu dengan bentuk bangunan dan teknik konstruksi tradisional Jawa. Kemudian pintu depan yang dibangun dengan ukuran kecil dan pendek, dapat ditafsirkan berupa ajakan agar saat masuk masjid, kita harus bersikap tawadhu, rendah hati dan tidak boleh sombong.
Yang aneh adalah tata letak makam Sultan Maualana Hasanuddin beserta keluarganya. Secara tradisi, makam pendiri masjid pada kompleks masjid tradisional di Jawa diletakkan di sisi barat, namun di masjid ini diletakkan di sisi utara. Padahal di sebelah barat Masjid Agung Banten terdapat makam Syarif Husein, penasehat Maualana Hasanuddin. Motif tata letak ini juga terdapat di beberapa masjid bersejarah di wilayah Banten, seperti di Masjid Kasunyatan yang dibangun oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Hasanuddin. Makam Maulana Yusuf tidak bertempat di sebelah barat masjid di mana terdapat makam gurunya, Syekh Madani. Melainkan berada di tengah sawah. Mengenai makam Maulana Yusuf ini, Hatta Kurdie berasumsi bahwa peletakan makam di areal sawah tersebut karena kecintaan Maulana Yusuf yang ahli pertanian, terhadap pertanian.
Demikianlah potret Masjid Agung Banten Lama, sebuah peninggalan sejarah yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan multi budaya tapi tetap sarat nilai-nilai Islam. Tapi sayang, sejauh pengamatan wartawan SC. Magazine, pemeliharaan terhadap situs sejarah ini kurang maksimal dengan adanya kekeroposan tembok di mana-mana dan rumput liar serta sampah di halaman masjid.

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol V

JEJAK PENDIDIK DAN DA’I INTELEKTUAL

Ia bertekad mengabdikan diri kepada pendidikan dan dakwah demi meningkatkan kualitas sumber daya bangsa Indonesia yang bertauhid kuat dan memiliki intelektual tinggi.

MENTARI mulai merapat ke ufuk barat. Semburat jingga terpancar di sela-sela pepohonan yang tumbuh rindang di bagian kiri kediaman Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin Abdulrahim, MSc. Kediaman tokoh Muhammadiyah yang akrab dipanggil Bang Imad itu terletak di Jl Bulak Raya No 33 Klender Jakarta Timur. Sesaat setelah teruluk salam, seorang wanita paruh baya keluar dari rumah menyambut kedatangan SC, lalu mempersilahkan masuk ke ruang tamu.
Seperti umumnya rumah cendikiawan muslim, tata ruang tamu rumah Bang Imad tersesaki dengan buku-buku ilmiah dan agama. Sebagian besar buah karyanya tentang tauhid. Sementara di bagian dinding terdapat beberapa foto Bang Imad dan keluarga, serta foto-foto saat menghadiri beberapa pertemuan, baik dengan pejabat negara atau tokoh masyarakat.
Tak lama kemudian datang seorang ibu yang memperkenalkan dirinya sebagai istri Bang Imad bernama Lailatul Qudsiyah. Sambil tersenyum ia menyambut ramah. Namun setelah mengetahui maksud kedatangan SC, raut mukanya berubah. “Maaf, bapak tak mungkin diwawancarai karena sedang kena stroke,” jawabnya pelan. “Tapi bila saudara-saudara hendak memotret, itu tak masalah,” lanjutnya.
Pukul 16.30, dengan dipapah istri dan putranya, Bang Imad datang menghampiri SC. Setelah duduk dan mengatur posisinya, Bang Imad menebar senyum dengan agak susah. Sore itu ia mengenakan pakaian gamis berwarna coklat susu. Keadaan cendikiawan muslim yang terkenal konsisten memperjuangkan tauhid ini cukup memprihatinkan. Kedua kaki dan tangannya sudah tak leluasa digerakkan. Mulutnya pun tak bisa difungsikan dengan baik. Ia lebih banyak mendengar dan menjawab dengan isyarat yang kemudian diterjemahkan oleh istri dan putranya. Meski tubuhnya tak sehat karena stroke yang ia derita sejak beberapa bulan lalu, tapi sorot mata Bang Imad masih memancarkan semangat hidup yang luar biasa. Guratan-guratan di wajahnya yang menua masih menyisakan ketegasan.
***
BANG Imad lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Timur 21 April 1931. Sejak kecil ia hidup di lingkungan santri. Ayahnya, Tuan Syeikh Abdulrahim adalah Direktur Madrasah Tsanawiyah-Aliyah Al Masrullah dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), serta Ketua Masyumi Langkat. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, Bang Imad begitu disayang. Ia harapan keluarga agar kelak bisa mewarisi darah keulamaan ayahnya. Karena itu, sejak kecil ia memperoleh pendidikan yang keras penuh disiplin.
Pola pendidikan yang ia peroleh dari ayahnya, seperti tafsir Al Qur’an, berbentuk diskusi. Beberapa ayat Al Qur’an terpilih dibacakan dan dijelaskan asbab al-nuzul, lalu disampaikan tafsirannya. Sementara Bang Imad diberi keleluasaan untuk bertanya. Selain menggeluti pendidikan agama, ia juga sekolah di Hollands Inlandsce School (HIS). Di sini ia tidak sampai tamat karena pada Maret 1942 tentara Jepang menduduki seluruh wilayah Sumatera Timur. Selanjutnya di SMP Afdeling dan SMA Negeri Jalan Seram di Medan.
Sejak usia remaja, Bang Imad sudah akrab dengan kegiatan organisasi dan perjuangan. Saat berada di bangku SMA ia mendirikan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) wilayah Sumatera Utara dan pernah menjadi anggota Hizbullah (organ pemuda Masyumi).
Ketika berada di PII, ia mengagumi pemikiran perintis kemerdekaan, Sjahrir, yang peduli terhadap generasi bangsa dan mengundangnya berpidato di sekolahannya. Sementara saat kuliah di Institut Tekhnlogi Bandung (ITB) dan menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ia pernah bertemu Bung Hatta di Bandung. Kala itu ia beserta kawan-kawan HMI mengkritik Bung Hatta yang membiarkan Soekarno berjalan ke arah kediktatoran dengan meninggalkan kursi Wapres. Mendengarnya, sambil tersenyum Bung Hatta menjelaskan bahwa bangsa Indonesia saat itu belum bisa diajak berdemokrasi, karena rakyatnya belum mampu membedakan antara hak dan kewajiban. Sehingga politik kurang tepat untuk dibicarakan. Yang lebih dibutuhkan bangsa saat itu adalah pendidikan. Bung Hatta lalu menganjurkan agar Bang Imad dan kawan-kawanya tidak langsung terjun ke politik, tapi harus belajar menjadi ahli tekhnologi atau ilmu pengetahuan lainnya terlebih dahulu, agar kualitas umat Islam bisa terangkat naik.
Pertemuan dengan Bung Hatta di Ujung Berung Bandung tersebut, ternyata membekas di hati Bang Imad. Anjuran Bung Hatta agar terlebih dahulu melakukan pendidikan terhadap bangsa Indonesia, akhirnya melahirkan tekad di hatinya untuk mengabdikan diri terhadap dunia pendidikan dan dakwah. Terlebih setelah menyadari kaum intelektual Islam sangat sedikit jumlahnya, padahal merupakan mayoritas.
Dus, setelah diangkat menjadi Wakil Ketua Yayasan Pembina Masjid Salman Institut Tekhnologi Bandung (ITB), fokus pikiran Bang Imad adalah melakukan kaderisasi bagi masyarakat agar lahir generasi yang jujur, amanah dan takwa kepada Allah. Keseriusannya dalam pendidikan dan dakwah tidak hanya dilakukan di lingkungan Masjid Salman, tapi juga di HMI dan kampus-kampus di luar ITB serta masyarakat umum. Untuk efektifitas tugasnya, ia mendirikan dan sekaligus menjadi Ketua Korp Mubalig HMI Cabang Bandung. Lembaga ini selanjutnya menjadi Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (PP LDMI) setelah Kongres HMI di Solo.
Metodologi penyampaian yang biasa digunakan Bang Imad adalah diskusi dan kajian intensif. Sementara inti dakwahnya adalah tauhid, yang menurutnya bisa menciptakan tatanan masyarakat yang takut kepada Allah dan menghindarkan masyarakat dari perbuatan merugikan. Materi tauhid ini kemudian terkenal dengan sebutan tauhid uluhiyyah.
Inspirasi tauhid sebagai inti dakwah diperoleh Bang Imad dari surah Ali Imron ayat 190, “sesungguhya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
Ayat yang menggambarkan fenomena alam tersebut, pernah ditangiskan Rosulullah SAW. Ceritanya, di suatu subuh, para sahabat sedang menunggu Rosulullah untuk sholat berjamaah. Tapi Rosulullah tak jua datang. Akhirnya Bilal datang menjenguknya. Setalah masuk ke kamar, seketika Bilal tercengang. Ia melihat Rosulullah berbaring di atas pembaringan dengan berlinang air mata. Lalu Bilal memberanikan diri mendekat dan bertanya sebab peristiwa yang dialami Rosulullah.
“Celakalah, hai Bilal, orang yang membaca Al Qur’an surah Ali Imron ayat 190 itu, tapi tidak memfikirkan bagaimana makusdnya,” sabda Rosulullah.
Kekhawatiran yang sempat menunda sholat subuh Rosulullah itulah yang menimbulkan inspirasi perjuangan Bang Imad. Ia bertekad menyampaikan pesan tauhid yang merupakan sumpah setia manusia kepada Allah sejak diciptakan pertama kali (ruh). Tauhid adalah nilai dasar kehidupan yang akan menuntun manusia dan berkembang di dunia, serta mengantarnya pulang kembali ke pangkuan Ilahi.
Konsep tauhid itu lalu dikembangkan Bang Imad berdasarkan Al Qur’an dan Hadist, dan menyebarkannya melalui ceramah dan seminar untuk mendapatkan kritik dari umat agar konsepnya mencapai kematangan. Dari ceramah-ceramah dan kritikan itu, ia kumpulkan menjadi buku dengan judul Kuliah Tauhid.
Selain itu, dengan dilhami buku Mujahid Dakwah karya KH Isa Anshari (ayah Endang Syaifuddin Anshari, salah satu penyusun Nilai Dasar Perjuangan HMI selain Bang Imad, Nurcholish Madjid dan Sakib Mahmud), ia mengembangkan konsep tauhid ke dalam paket-paket pelatihan yang bertujuan melatih dan kaderisasi, khususnya para mahasiswa agar senantiasa menghidupkan ruh tauhid. Pelatihan ini terkenal dengan nama Latihan Mujahid Dakwah (LMD), dan telah ia lakukan di beberapa benua baik Asia, Amerika, Eropa dan Australia.
***
MENJADI seorang da’i yang teguh dan konsisten menyuarakan kebenaran tauhid bukan tanpa halangan. Selama perjalanan berdakwah, acapkali Bang Imad memperoleh halangan dan bahkan pernah dijebloskan ke penjara Nirbaya Jakarta Timur tanpa pengadilan, dengan tuduhan sebagai dalang dari gerakan mahasiswa ITB menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tuduhan ini lantaran ia merupakan tokoh (dosen) di lingkungan kampus ITB dan sekaligus pendiri Masjid Salman, tempat berkumpulnya para aktivis islam.
Penahanan Bang Imad akhirnya berakhir pada Bulan Juli 1979. Namun ia dilarang memberikan ceramah kepada mahasiswa. Seluruh kegiatan diawasi dengan ketat oleh intel. Tapi setelah beberapa bulan berada di bawah pengawasan intel, akhirnya Bang Imad memperoleh kabar baik. Melalui Muhammad Natsir, pendiri Masyumi, ia memperoleh beasiswa dari Kerajaan Arab Saudi untuk meneruskan jenjang pendidikannya ke Iowa University, Amerika Serikat. Di negerei Paman Sam ini ia memilih jurusan Management of Human Resources, sebuah jurusan yang ia pilih untuk menjawab anjuran Bung Hatta dan keprihatinan beberapa tokoh Islam terhadap kualitas sumber daya umat Islam Indonesia.
Setelah memperoleh gelar S3 pada 1985, Bang Imad pulang ke tanah air. Beberapa bulan di Indonesia, bersama dengan almuni Masjid Salman ITB, seperti Ir. Hatta Rajasa, Ir Bambang Sukarsono dan Ir Alimin Abdullah, ia mendirikan Yayayasan Pembina Sari Insani (Yaasin). Selain itu, bersama Aswab Mahasin (pemred majalah Prisma) dan beberapa cendikiawan muslim liannya, ia menjadi pencetus berdirinya Ikatakan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
***
MENGINJAK usia senja, tingkat kesibukan Bang Imad bukannya mereda, tapi malah meningkat. “Abang memang kurang memperhatikan kondisi fisik bila sudah bersentuhan dengan dakwah,” ujar Lia, panggilan Ibu Lailatul Qudsiyah.
Kelalaian terhadap kondisi fisik ini, akhirnya melahirkan beberapa penyakit. Di antaranya ia pernah mengalami ganguan jantung, iritasi ginjal dan pembuluh darah dalam otaknya dipenuhi oleh gelembung-gelembung yang menghambat penyaluran darah dari jantung ke otak. Dalam perjalanan usia dan seiring meningkatnya intensitas pekerjaannya, penyakit terakhir ini makin parah dan mengakibatkan Bang Imad terkena stroke.
Demikianlah kisah salah satu pendidik dan da’i Indonesia. Meski saat ini penyakit stroke masih ia derita, tapi sorot mata dan pancaran wajahnya masih menyisakan semangat untuk segera sembuh dan kembali berjuang menyerukan tauhid kepada segenap umat Islam...*

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No V

HATI, SASARAN UTAMA PENDIDIKAN

Mendidik santri dengan uswah, usbah dan dakwah

MINGGU sore (05/08), cuaca cerah merias wajah Pondok Pesantren al Amin Prenduan Sumenep Jawa Timur. Di bawah langit biru yang mulai tergores semburat jingga mentari, pohon-pohon kelapa dan palem berjejer rapi di sepanjang jalan menuju lokasi pesantren. Sementara wajah-wajah ramah para santri menyambut kedatangan dua wartawan SC yang masuk menuju pesantren. Sampai di pintu gerbang, seorang santri menyambut dan mengantar ke ruang tamu di kantor pesantren.
Sepanjang jalan menuju kantor pesantren, tampak beberapa santri menikmati aktivitas mereka masing-masing. Ada yang asyik ngobrol dengan bahasa arab atau inggris di bawah pepohonan kelapa di samping masjid, membaca koran yang tersedia di majalah dinding dekat asrama santri, ada pula yang bercanda sambil berkejar-kejaran.
Adzan shalat ashar berkumandang. Para santri bergegas masuk kamar. Berganti pakaian, mengenakan sarung dan kopiah, mengambil wudhu, lalu melangkah menuju ke masjid yang megah di tengah pesantren, menunaikan shalat ashar berjamaah.
Sementara seorang ustadz yang mengetahui kedatangan SC menyambut ramah dan mempersilahkan beristirahat di dalam kantor pesantren. “Wa’alaikum salam. Silahkan tunggu sebentar. Kiai Idris masih menjadi imam di masjid,” sambut ustadz Jakfar, pengurus bagian humas Pesantren al Amin. “Ya akhi, khudzi al qohwah lidhoif (ya saudaraku, ambilkan kopi untuk tamu),” pintanya kepada salah satu santri.
Selang 30 menit, KH Muhammad Idris Jauhari, wakil direktur Pesantren al Amin, datang dan mempersilahkan SC untuk masuk ke ruang pandapa di samping kediamannya. Kepada SC, Kiai yang berpenampilan sederhana ini bercerita tentang Pesantren al Amin dan pola pendidikan yang diselenggarakannya.
“Sasaran utama pendidikan itu adalah hati. Karena itu kita lebih mementingkan pendidikan spiritual,” kata Kiai Idris. Menurutnya, pendidikan yang ditujukan pada hati akan membentuk akhlak yang mulia. Ini sesuai dengan hadist Nabi, bila hati seseorang itu baik, maka baik pula pikiran dan tingkah lakunya. Sementara bila hatinya buruk, maka buruk pula pikiran dan tingkah lakunya.
Mengingat sasaran utama pendidikan adalah hati, Kiai Idris mengatakan, syarat utama yang harus diterapkan adalah memberikan keyakinan pada calon santri. “Jadi santri yang ke sini harus yakin, bahwa pilihannya benar dan diridhoi Allah. Ini dilakukan melalui talkin. Setelah itu, baru kita bisa menggarap unsur-unsur spiritualnya,” lanjutnya.
Untuk memperkokoh sisi spiritual para santrinya, Kiai Idris menerapkan tiga nilai dasar yang sudah menjadi nafas sehari-hari pesantren al Amin, yaitu uswah, usbah dan dakwah. “Pertama, jangan beri contoh jelek. Bila kiainya bohong dan seterusnya, ini awal kehancuran proses pendidikan. Kedua, pernahkah anda mendengar istilah murid Nabi? Yang ada hanyalah sahabat. Proses pendidikan yang benar, hubungan antara pendidik dan yang dididik adalah sahabat. Bukan top down. Ana waahidun minhum (aku satu kelompok dengan mereka), kata Sayyidina Ali ra. Ketiga, di mana pun anda berada maka lakukanlah dakwah. Bila ada anak yang nakal, tegurlah. Waltakum mingkum ummatun yadu’uuna ilal khoiri (hendaklah sebagian dari kalian menjadi ummat yang mengajak pada kebaikan). Bila ketiga nilai ini dilakukan dengan baik dan istiqomah, nilai-nilai spiritual akan berlangsung secara otomatis,” jelasnya.
Meski Pesantren al Amin memiliki pondasi spiritual yang kokoh, Kiai yang terkenal low profile ini tidak ingin jumawa. “Soal hasil, itu tergantung Allah. Karena tak sedikit anak yang mulanya dididik dengan baik, ternyata pada usia dewasa menjadi jelek. Tapi demikian, usaha untuk menjadikan anak menjadi baik itu tidak boleh berhenti. Karena Allah Maha Pemurah dan Maha Pemberi Rahmat,” kata Kiai Idris sambil tersenyum.
***
ADZAN Maghrib berkumandang. Kiai Idris mengajak SC untuk berjamaah di masjid bersama para santri. Setelah shalat, para santri mengaji dengan membentuk kelompok di sekitar halaman masjid. Selang 45 menit, para santri membubarkan diri dan bersiap menunaikan ibadah sholat Isya berjamaah.
Seusai sholat Isya, para santri berhamburan menuju koperasi makan di dalam pesantren. Suasana riuh terdengar dalam koperasi. Ada canda dan tawa. Mereka makan bersama-sama. Ada yang duduk di meja makan dalam koperasi. Ada yang memilih duduk di sebuah gardu yang terletak di samping koperasi. Ada pula yang jongkok berkelompok di luar koperasi. Nuansa persahabatan terasa kental di antara mereka.
Sementara ustadz Jakfar yang menemani SC di ruang tamu pesantren, bercerita tentang keribadian Kiai Idris yang konsisten memberikan uswah kepada santri-santrinya. “Seringkali Kiai Idris menegur kami melalui uswah. Misalkan saat melihat halaman masjid kotor, sementara para santri asyik bercanda, maka Kiai Idris seringkali langsung membersihkannya sendirian,” cerita Jakfar.
Lebih jauh, Jakfar juga bercerita bahwa Kiai Idris terkenal sebagai konseptor dan penulis di lingkungan Pesantren al Amin. Beberapa buah karyanya antara lain buku Hakikat Pesantren, Mencetak Muslim Multi Terampil, Pembudayaan Hidup yang Islami, Anak Muda Menjadi Sufi, dan lainnya. “Dari uswah dan karyanya tersebut, alhamdulillah para santri bisa lebih sadar akan kewajiban-kewajibannya sebagai santri yang selain harus tekun belajar juga harus menjaga akhlak,” jelas bapak tiga putera ini.
Salah satu buku Kiai Idris yang menarik adalah Anak Muda Menjadi Sufi. Dalam buku tipis tersebut, Kiai Idris menjelaskan tentang langkah-langkah menjadi seorang mutasowwif (orang yang berjalan di jalan tasawuf). Menurutnya, langkah-langkah yang perlu diperhatikan untuk menjadi mutasowwif adalah, Iyqon an-Nafs (meyakinkan diri), Taqwim an-Niyyah (meluruskan niat), at-Tafakkur wa at-Tadabbur (berpikir dan merenung), at-Takhollli wa at-Tahalli (membersihkan dan menghias diri) dan at-Tajalli (menampak).
Menurut penjelasannya, yang dimaksud dengan Iyqon an-Nafs adalah iman. Dalam konteks tasawuf, iman harus dimulai dari upaya meyakinkan diri sendiri bahwa ia bisa menjadi mutasowwif. Kedua, menurut beberapa ulama sufi, niat selalu mencakup awal dan akhir dari suatu perbuatan. Meliputi latar belakang, motivasi dan tujuan. Setiap melakukan pekerjaannya, seorang sufi selalu berniat, minimal untuk tiga tujuan utama, niat semata-mata untuk beribadah kepada Allah (mu’amalah ma’a Allah), niat memantapkan diri sebagai kholifah Allah dengan cara mengkaji apa pun yang ditemuinya (mu’amalah ma’a an-nafs), dan niat bersilaturrahim dengan siapa pun dan apa pun, baik langsung maupun tak langsung (mu’amalah ma’a annas wa al-biah).
Ketiga, seorang sufi selalu berupaya untuk memahami dan mendalami subtansi dari apa pun yang dia lihat, dengar, rasakan atau pun yang dia lakukan. Dia tidak akan puas dengan hal-hal yang bersifat lahiriyah, seremonial dan formal. Sehingga tidak mudah tertipu dengan kulit luar. Keempat, dalam melaksanakan proses meyakinkan diri, meluruskan niat, melakukan istithla, tafakkur dan tadabbur, seorang sufi selalu berusaha untuk membebasakan dirinya dari penyakit hati macam takabbur, ‘ujub, riya’, hasud, tama’, malas, ghibah, buhtan, fitnah dan sifat-sifat lain yang bisa merongrong dan membatalkan amal ibadahnya. Dan pada saat yang sama, dia selalu berusaha untuk menghiasi dirinya dengan peningkatan amal-amal sholeh dan akhlak mulia. Kelima, bila keempat proses sebelumnya bisa dilaksanakan dengan istiqomah, seorang sufi akan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya dan sekitarnya, kapan saja, di mana saja dan dalam situasi bagaimana pun. Setiap yang dia lihat, dengar, rasakan dan lakukan, suka dan duka, karunia dan musibah, kalah dan menang, dia selalu merasakan adanya kebesaran, keagungan dan keadilan Allah swt. Bila demikian, jiwanya telah mencapai posisi muthmainnah, yang ridho terhadap segala sesuatu yang ditaqdirkan Allah kepadanya, sehingga dia diridhoi Allah. Itulah puncak dari kehidupan seorang muslim yang sufi. Proses tajalli inilah yang dalam tasawuf dikenal dengan nama makrifah.
***
PUKUL 21.00 wib, terdengar suara bel petanda usainya kegiatan. Para santri bergegas kembali menuju ke kamar mereka masing-masing. Sementara suara Kiai Idris terdengar bijak dari speaker-speaker yang terdapat di masing-masing kamar para santri. Memberikan tausyiah dan do’a kepada para santri-santrinya serta mengingatkan mereka untuk senatiasa bangun malam untuk mendirikan shalat tahajud...*

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol V

TIGA PERJALANAN DAN PENGORBANAN

Arofah, Muzdalifah dan Mina bisa ditafsirkan sebagai Pengetahuan, Kesadaran dan Harapan. Tiga perjalanan ini membawa manusia munuju puncak tauhid melalui simbol kurban.

SEBELUM wuquf di Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah, para jamaah haji memotong rambut sebagai simbol ketundukan diri kepada Allah. “Tahallul merupakan simbol ketundukan kita kepada Allah. Karena rambut adalah lambang kebanggaan dan kehormatan manusia,” kata Prof Dr KH Said Agil Siradj di kediamannya, Jl Sadar Raya No 3A Rt 08/04 Cianjur.
Wuquf di padang Arafah yang dilaksanakan sejak tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijah, secara historis merupakan napak tilas sejarah pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah. Dari pertemuan dan interaksi antara Adam dan Hawa ini, Dr Ali Syari’ati mengatakan bahwa Arofah adalah simbol pengetahuan. Menurutnya, percikan pertama dari cinta yang memancar dalam perjumpaan tersebut, mendorong mereka untuk saling memahami. Inilah isyarat pengetahuan yang pertama. Adam mengetahui bahwa istrinya memiliki jenis kelamin berbeda dan berasal dari sumber serta alam yang sama. Konsekuensinya, dari sudut pandang filosofis, eksistensi manusia sama tuanya dengan eksistensi pengetahuan; dari sudut pandang ilmiah, sejarah manusia dimulai dengan pengetahuan.
Saat malam mulai merayap, para jamaah haji berangkat ke Muzdalifah. Bila Arofah disebut fase pengetahuan, maka Ali Syari’ati menyebut Muzdalifah/Masy’ar sebagai fase kesadaran. Urutan ini, pengetahuan-kesadaran, bertolak belakang dengan pemahaman manusia umum yang memilih fase kesadaran mendahului fase pengetahuan. Tapi Ali Syari’ati menjelaskan bahwa Adam dan Hawa saat bertemu saling berbagi pendapat, mengkomunikasikan pemikiran-pemikirannya dan mencapai saling pengertian. Kehidupan individual mereka diakhiri dengan terbangunnya sebuah keluarga dan terciptanya cinta yang sadar. Persatuan dua manusia itu dimulai dengan pengetahuan, dan selanjutnya melalui evolusi pengetahuan maka semakin besarlah kesadaran manusia.
Di Masy’ar inilah, lanjut Ali Syari’ati, kekuatan pemahaman mudah diperoleh dengan cara lebih berkonsentrasi dalam keheningan malam. Karena itu, pekerjaan utama manusia adalah melakukan perenungan.
Senada dengan Ali Syari’ati, Aqilmengatakan bahwa Muzdalifah adalah waktu untuk berdzikir kepada Allah. “Di Muzdalifah untuk membesarkan Allah. Di Al Qur’an surah Al Baqarah: 198, tidak ada perintah mencari batu untuk melempar setan, tapi Nabi Muhammad saat di Muzdalifah mencari batu sebanyak 7 butir untuk jumratul aqobah pada tanggal 10.”
Perjalanan selanjutnya ke Mina. Sebagaimana arti katanya, harapan, peristiwa Mina menandakan cita-cita, idealisme dan cinta. Setelah menyiapkan batu-batu sebagai alat perang pada tanggal 10, tepat saat sang surya memancarkan semburat fajarnya, setelah sholat subuh, jama’ah haji berangkat ke Mina untuk melakukan pertempuran terhadap tiga berhala. Menurut Ali Syari’ati, ketiga berhala ini bisa dilukiskan sebagai Fir’aun (penindasan), Karun (kapitalisme) dan Balam (kemunafikan). Sementara Said Aqil Syiraj, menggambarkan setan sebagai segala sesuatu yang menjauhkan manusia dari kebenaran (Allah).
Setelah melewati godaan setan, para jamaah haji kemudian menyembelih hewan kurban dengan niat mengorbankan segala hal yang dicintainya demi cinta kepada Allah. Mereka menjadi Ibrahim, yang siap mengurbankan putra yang ia rindukan hampir seabad, dan Ismail yang siap merelakan nyawanya demi kepatuhan dan cinta kepada Allah semata.
Demikianlah haji, ibadah yang bisa menghantarkan manusia menuju makrifatullah dan revolusi lahir-batin. Dengan melepas ghorizatul ghotob dan ghorizatul syahwat, manusia menemukan dirinya sebagai insan atau ruh. Melalui ruh manusia bisa senantiasa merasa dekat dengan Allah. Ini kemudian akan memunculkan perubahan besar-besaran pada diri manusia yang di kehidupan sebelumnya penuh dengan belepotan dosa.
Tapi haji bukanlah akhir perjalanan spiritual manusia. Seperti dikatakan Prof Dr Ahmad Mubarak, MA, haji adalah bentuk sebagaimana shalat, puasa dan zakat. Adapun subtansinya adalah komunikasi dengan Allah di tiap hembusan nafas...*

Adib Minanurrachim

Dimuat di SC Magazine No V

MENUJU MAKRIFATULLAH DAN KHOLIFATULLAH

Melalui tawaf dan sa’i, manusia bisa menuju makrifatullah dan memperoleh pelajaran menjadi kholifah di dunia.

SECARA historis, haji dilakukan pertama kali oleh Nabi Ibrahim as dan Ismail. Selanjutnya pada masa Nabi Muhammad SAW, haji diwajibkan kepada seluruh manusia yang mampu. Menurut Prof Dr KH Said Agil Siradj, ketua tanfidziah Nahdlatul Ulama, kemampuan ini melingkupi lahir dan batin. Kemampuan lahir berupa fisik, uang dan waktu. Sementara batin berupa kesiapan mental, kesabaran, ketekunan dan kehati-hatian.
Perintah haji yang termaktub dalam Al Qur’an surah Ali Imron ayat 97 tersebut, merupakan ibadah massal yang menampilkan suasana kolosal yang indah. Saat di Makkah, orang-orang yang berasal dari beragam bangsa bersama-sama berkumpul di Baitil Haram. Melepas pakaian dan menggantinya dengan dua lembar kain putih yang membalut tubuh di Miqot.
Menurut Dr Ali Syari’ati dalam bukunya Makna Haji, pakaian yang dikenakan manusia sehari-hari melambangkan status dan perbedaan. Semua itu menciptakan ‘batas-batas’ palsu yang menyebabkan ‘pemisahan’ di antara manusia. Sebagian besar ‘pemisahan’ melahirkan ‘diskriminasi’ yang menciptakan konsep ‘aku’, bukan ‘kita’. ‘Aku’ digunakan dalam konteks rasku, klanku, nilai-nilaiku, jabatanku, dan bukan ‘aku’ sebagai manusia. Ini memunculkan hubungan tuan-hamba, penindas-tertindas, yang beradab-tidak beradab, barat-timur dan seterusnya. Karena itu, di Miqot para jamaah haji harus menanggalkan segala penutup yang dikenakan sehari-hari dan menggantinya dengan pakaian ihram.
Pakaian ihram tersebut, menurut Aqil, merupakan simbol pelepasan ghorizatul ghotob dan ghorizatul syahwat. “Ghorizatul ghotob terdiri dari dorongan nafsu angkara murka, ambisi dan ingin berkuasa. Sementara ghorizatul syahwat terdiri dari dorongan syahwat yang ingin senang, punya sandang, papan dan wanita. Ini semua harus dilepaskan dan diganti dengan pakaian ihram. Pergantian pakaian ini selaras dengan arti kota Makkah yang berasal dari kata makka-yamukku-makkatan yang berarti meremuk dan menghancurkan. Jadi orang yang masuk ke Makkah harus menghancurkan sikap egois dan hawa nafsunya,” katanya.
Seiring dua lembar kain putih yang membalut tubuh, dan niat melakukan ‘perpindahan’ dari sang diri menuju Allah, para jamaah haji berputar dalam gelombang tawaf. Ka’bah dikelilingi lautan manusia yang sangat bergairah. Ka’bah laksana matahari yang berada di tengah, sementara manusia laksana bintang-gemintang yang berjalan di orbitnya dalam sistem tata surya. Ka’bah melambangkan ketidakberubahan dan keabadian Allah. Sementara lingkaran yang bergerak menunjukkan aktivitas dan transisi yang berkesinambungan dari makhlukNya.
Ali Syari’ati mengatakan tawaf adalah contoh dari sebuah sistem yang berdasarkan pada gagasan tentang monoteisme (tauhid) yang meliputi orientasi sebuah partikel (manusia). Allah adalah pusat eksistensi, fokus dari dunia yang sementara ini. Saat tawaf, dalam kelompok manusia itu tidak ada identifikasi individual yang membedakan antara lelaki dan perempuan atau kulit hitam dan putih. Tawaf merupakan transformasi manusia menjadi totalitas umat. Semua ‘aku’ bersatu menjadi ‘kita’ yang mewujudkan ummat dengan tujuan mendekati Allah.
Dalam tawaf juga terdapat simbol sumpah setia kepada Allah. Ini dilambangkan dengan mencium atau menunjuk Hajar Aswad. Gerakan mencium Hajar Aswad berarti telah memilih untuk bersekutu dengan Allah, dan membebaskan diri dari perjanjian sebelumnya; tak lagi menjadi sekutu dari kaum penguasa, hipokrit, aristokrat, kapitalis dan uang. Sejak itu manusia bebas-merdeka.
***
USAI melaksanakan tawaf, para tamu Allah berangkat menuju ke Mas’a, yakni jalan antara bukit Shafa dan Marwah yang memiliki panjang sekira ¼ mil. Perjalanan yang disebut sa’i ini dilakukan sebanyak tujuh kali.
Secara historis, sa’i adalah napak tilas perjuangan Hajar mencari seteguk air demi putra tercintanya, Ismail. Saat sa’i manusia memerankan Hajar, seorang wanita miskin, hamba sahaya, bangsa Ethiopia yang direndahkan dan pelayan Sarah, tapi sekaligus Ibu dari para rasul Allah.
Ketika Ibrahim diperintahkan Allah untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di sebuah lembah yang kering, tanpa air dan rerumputan sedikit pun, Hajar memandang lekat ke wajah Ibrahim sambil berkata, “Wahai Ibrahim suamiku, betulkah engkau akan meninggalkan kami di tempat seperti ini? Tidakkah engkau melihat bahwa ini adalah tempat yang betul-betul asing bagi kami, tanpa air dan tanpa tanaman? Kepada siapakah engkau serahkan nasibku dan anakmu yang masih bayi ini?‌”
Mendengarnya, Ibrahim meneteskan air mata. Sambil memandang kedua orang yang sangat disayangnya itu ia menjawab, “Allah yang telah memerintahkanku untuk meninggalkanmu di sini.” Sejenak Hajar terdiam. Lalu ia berkata, “Kalau demikian, pergilah wahai Ibrahim. Allah yang Maha Pengasih tidak akan mungkin menelantarkan kami sendirian.”
Setelah mendo’akan mereka berdua seperti termaktub dalam Al Qur’an surah Ibrahim ayat 37, Ibrahim pergi meninggalkan Hajar dan Ismail. Sementara Hajar secara total pasrah terhadap kehendak Allah. Tapi ia tidak duduk termangu di samping putranya dan menunggu tangan gaib membawakan buah-buahan dari langit atau mengalirkan sungai untuk memuaskan dahaganya. Tapi ia segera bangkit dan seorang diri berlari dari satu bukit tandus ke bukit tandus lainnya mencari air. Ia memutuskan menggantungkan pada dirinya dengan mencari dan berjuang tanpa henti. Mengembara di gurun pasir yang asing, ia laksana seorang tahanan di kedua bukit tersebut. Seorang diri dan gelisah, namun penuh harapan dan tekad untuk mencari air dari satu tempat ke tempat lainnya.
Akhirnya segala upaya Hajar sia-sia. Ia kembali dengan sangat sedih kepada anaknya. Tapi betapa ia sangat terkejut, sang anak yang ditinggalkannya di bawah payung ‘cinta’ dalam keadaan haus dan gelisah, tengah menggali pasir dengan tumitnya. Dalam keputusasaan yang memuncak dan dari tempat yang tak diduga, tiba-tiba muncullah air zam-zam.
Dari kisah di atas, Ali Syari’ati mengatakan bahwa sa’i adalah kerja fisik, jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, perjuangan dan pencarian untuk memenuhi kebutuhan manusia dari jantung alam.
Sementara Prof Dr Ahmad Mubarok, MA mengatakan bahwa orang yang berusaha dan ingin mendapatkan ridho Allah, hatinya harus bersih. “Orang tua itu kan simbol dari sesuatu yang belepotan (kotor), sementara anak adalah simbol kesucian. Sama dengan sapu, bila sapunya belepotan, lantainya tidak kunjung bersih. Sama dengan membasmi korupsi, bila orang-orang KPK-nya belepotan, korupsi tidak akan habis,” katanya saat ditemui di restoran Abu Nawas Salemba Jakarta Pusat.
Berangkat dari makna tawaf dan sa’i di atas, Ali Syari’ati, pemikir yang dua kali pernah dipenjarakan oleh rezim Iran ini mengatakan, haji telah memecahkan berbagai kontradiksi yang telah membingungkan umat manusia sepanjang sejarah: antara idealisme atau matrealisme, asketisisme atau epikureanisme, kehendak Allah atau kehendak manusia. Terhadap dua hal yang kontradiktif tersebut, melalui haji Allah memberikan jawaban, yakni pilihlah dua-duanya.
Dari sini, ritus tawaf dan sa’i adalah dua pengertian yang saling melengkapi. Satu sisi manusia dengan ruhnya menuju makrifatullah, dan di sisi lain manusia dengan hawa nafsu yang telah ditaklukkan oleh ruhnya (nafsu muthmainnah) menjadi kholifah di dunia.*

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol V

MENGENAL ALLAH DAN PRIBUMISASI NILAI TAUHID

BAGI Prof Dr KH Said Agil Siradj, melaksanakan ibadah haji merupakan kemudahan yang diberikan Allah SWT kepadanya. Tapi dari sekian kali kesempatan, Aqil mengaku pengalamannya berhaji pada tahun 1994 adalah yang tak bisa terlupakan. Saat itu, pria kelahiran Cirebon 3 Juli 1953 silam ini berkesempatan melaksanakan ibadah haji bersama mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) beserta sejumlah kiai lainnya. Saat menjalani proses wukuf di Arafah, Aqil mengaku melihat Gus Dur keluar dari tenda dan memisahkan diri dari jamaah lainnya, mengambil tempat menyendiri dan duduk melakukan dzikir. “Saat itulah saya melihat tepat di atas Gus Dur langit terbuka dan memancarkan sinar tepat ke tubuh Gus Dur. Anda boleh tidak percaya, tapi itulah yang saya lihat dengan mata saya sendiri,” kata Aqil kepada SC, di kediamannya Jl Sadar Raya No 3A Rt 08/04 Cianjur.
Rasa takjub itu membuatnya menanyakan apa yang dilakukan Gus Dur. Menurut Gus Dur, ia sedang membaca surah Al Fatihah seribu kali dan memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk menjauhkan rakyat Indonesia dari kedzaliman dan perlakuan tak adil dari penguasa. “Padahal saat itu jelas Gus Dur belum jadi presiden,” lanjutnya
Mendengar penuturan Gus Dur, Aqil mengaku air matanya tak tertahankan jatuh di pipinya. Dia senantiasa merasa tergugah oleh sikap Gus Dur yang mempersembahkan doanya di tanah suci untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesia dibandingkan untuk dirinya sendiri. Atas pengalaman itulah, Aqil bertekad seoptimal mungkin mampu ‘mengikuti’ jejak langkah Gus Dur untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan bangsa.
Di penguhujung musim haji ini, kepada SC, bapak empat putra ini mengingatkan para jamaah calon haji Indonesia hendaknya mampu memanfaatkan kesempatan naik haji dan bisa mengaktualisasikan nilai-nilainya di tanah air. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan sejarah haji?
Pertama kali yang diperintahkan haji adalah Nabi Ibrahim. Selanjutnya diwajibkan kepada Rasulullah sejak tahun ke 4 Hijriyah, diwajibkan kepada umat manusia melaksanakan ibadah haji ke baitullah dengan niat karena Allah bagi yang sudah mampu. Kemampuan ini meliputi aspek lahir berupa uang, waktu, fisik dan batin berupa kesiapan mental, kesabaran, ketekunan dan kehati-hatian.
Haji juga merupakan nipak talas sejarah. Misalkan wuquf di Arofah, di sana ada Jabal Rahmah, tempat pertemuan Adam dan Hawa. Mulanya Hawa kan diusir dari surga dan diturunkan di Jiddah. Sementara Adam di India. Setelah ratusan ribu tahun saling mencari dengan berpuasa setiap hari dan selalu berdo’a, robbanaa dzolamnaa angfusanaa wa inlam tagfir lanaa wa tarhamnaa lanakunannaa minal khosiriin, akhirnya Allah menerima tobat mereka dan mempertemukannya di Jabal Arofah. Malam pertama mereka berada di sebuah bukit kecil bernama Khuda’ah yang sekarang menjadi Masjid Mas’aril Haram di Muzdalifah. Makanya orang haji harus mabid di sini.
Dari Muzdalifah inilah sejarah manusia dimulai, makhluk yang aneh dan unik karena terdiri dari dua unsur, ‘alamil malakut yaitu ruhani dan ‘alamul mulki yaitu fisik yang dibuat dari tanah liat dan sperma yang isinya dua hal, ghorizatul ghotob (dorongan angkara murka, ambisi dan ingin berkuasa) dan ghorizatul syahwat (dorongan ingin senang dan hidup mewah). ‘Alamul mulki ini juga disebut basyarun, sementara ‘alamul malakut disebut insan atau ruh. Insan inilah hakikat manusia yang akan hidup dunia-akhirat. Di dalam insan ini ada basyirah, dhomir (moral), fuad (nurani), asror (kekuatan misterius) dan terakhir lathifah atau lathoif (perangkat sangat halus yang bisa mengakses ke mana-mana sampai ‘alam ghaib).
Dalam haji diwajibkan mengenakan pakaian ihram. Karena ihram berarti melepaskan ghorizatul ghotob dan ghorizatul syahwat. Ini sesuai dengan nama kota Makkah, makka-yamukku-makkatan yang berarti, meremuk, menghancurkan. Jadi orang yang masuk ke Makkah harus menghancurkan hawa nafsunya.
Mengenai tawaf, apakah Ibrahim yang melaksanakan pertama kali?
Yang pertama kali tawaf di Ka’bah para malaikat, sebelum Allah menciptakan Adam. Adapun bangunannya sudah ada, meski bentuknya sekedar gundukan tanah yang kemudian dibangun oleh Ibrahim dan Ismail.
Makna tawaf adalah al-bahstu ‘ala dzaat, mencari jati diri kita sebenarnya. Ini tergambar dari perjalanan mulai ujung pojok Hajar Aswad dan kembali lagi ke Hajar Aswad, minallah wa ilahhi. Jadi hidup ini hanya sementara, dari Allah untuk ke Allah. Sehingga hidup ini jangan hanya diwarnai ghorizatul ghotob dan syahwat, tapi harus ada ruang moral, iman dan syukur-syukur makrifat.
Mencium Hajar Aswad saat tawaf, secara metafor melakukan sumpah setia dengan Allah. Sehingga muncul kesadaran bahwa setiap hari kita hadir bersama Allah atau sadar bahwa Allah itu selalu hadir bersama kita.
Lalu apa makna sa’i?
Sa’i itu kan fas’au ila dzikrillah, bergegas berdizikir kepada Allah. Inna shofa wal marwata min sya’airillah dan seterusnya... Shofa dan Marwah itu tanda kebesaran Allah, barang siapa haji dan umrah hendaklah sa’i antara Shofa dan Marwah.
Dzikir di sini meliputi qaulan (perkataan), ‘amalan (perbuatan), mauqifan (diam), wa fikron (pemikiran). Apa pun amal-soleh yang kita niatkan karena Allah itu adalah dzikir. Berbeda dengan wirid yang asal mulanya dari waarid-waaridaat, bacaan-bacaan tertentu yang mengharapkan sesuatu melimpah dari Allah.
Setelah sa’i wuquf dulu, waktunya setelah tergelincirnya matahari saat dhuhur tanggal 9 Dzulhijjah hingga malam. Di situlah seharusnya berdo’a. Karena Allah sedang mengobral ampunan dan rahmatnya. Lau kaanat dzunubukum ladzabatil bahr, la kaanat maghfirotullahi akbar, lau kaanat dzunubukum mistla turobil ardhi, la maghfirotullahi aksar, andai dosamu seluas lautan, maka ampunan Allah lebih luas, dan andai dosamu seperti debu yang bertebaran di bumi, maka ampunan Allah lebih banyak. Saat itu kita harus yakin dosanya diampuni. Kalau ragu-ragu malah dosa lagi. Karena menduga Tuhan itu pelit.
Setelah itu berangkat ke mas’aril haram di Muzdalifah. Dalam Al Qur’an surah Al Baqarah: 198, tidak ada perintah mencari batu untuk melempar setan, tapi Nabi Muhammad saat di Muzdalifah mencari batu sebanyak tujuh butir dan digunakan untuk jumratul aqobah pada tanggal 10. Lempar jumrah ini juga merupakan napak tilas sejarah Ibrahim yang di goda setan sampai tiga kali saat hendak melaksanakan perintah Tuhan untuk menyembelih putranya. Kurban merupakan pertarungan hebat antara kecintaan Ibrahim pada putranya yang masih lucu-lucunya dengan kerelaan mengikuti perintah Allah.
Apakah ketiga berhala itu bisa dikontektualisasikan dengan zaman sekarang, misalkan simbol penindasan, kapitalisme dan kemunafikan?
Ya boleh-boleh saja. Melempar hawa nafsu diri kita juga boleh. Karena diri kita ini lebih dari sekedar setan. Awal kata setan itu dari syatona, ba’uda yang artinya jauh. Jadi apa saja yang menjauhkan diri kita dari Allah adalah setan.
Oya, sebelumnya ada tahallul dan paling afdhal adalah dipangkas hingga gundul. Ini dido’akan rasulullah sampai tiga kali, ya Allah berilah rahmat bagi orang yang memangkas rambutnya, gundul, lalu ada sahabat yang berkata, wa muqossirin, baru kemudian rosulullah mendoakan orang yang memotong rambut. Tahallul ini simbol dari ketundukan kita kepada Allah, karena rambut adalah lambang kehormatan manusia.
Setelah melakukan haji, kita berziarah ke makam Rasulullah. Ziarah ini bukan termasuk ibadah haji, tapi ada hadist, man hajja wa lam yazurni faqod jafaani, barang siapa haji dan belum berziarah ke tempatku, maka ia tidak dekat denganku. Selain hadist, ada juga ayat Al Qur’an, walau annahum idzdholamuu angfusahum jaauka fastaaghfarullaha wastaghfaru lahum rosula lawajaduullaha tawaaba rohiima, seandainya orang-orang yang dholim dan kemudian datang keadamu ya Muhammad, lalu istighfar di sebelahmu, dan rosulullah pun ikut memintakan ampunan untuk orang tersebut, maka orang-orang tersebut akan memperoleh ampunan Allah. Artinya, Nabi memiliki hak prerogaif memohonkan ampunan kepada Allah untuk siapa pun.
Ada yang mengatakan hikmah tawaf dan sa’i adalah pemecah kontradiksi antara Menyandarkan pada-Nya atau pada kehendak manusia. Bagaimana menurut anda?
Boleh saja. Tapi yang gampang, secara etimologis haji bermakna al qosdu, menuju secara sungguh-sungguh kepada Allah. Kalau di tanah air ini kan hanya menyapa, tapi kalau di sana adalah menuju ke makrifat Allah.
Tanda haji mabrur?
Setelah haji ia mengalami perubahan positif, baik iman, perilaku dan kehidupan sosialnya dibanding sebelum haji. Dan sepengetahuan saya, orang yang sudah haji itu tidak akan murtad, karena sudah merasakan kebenaran dan kebesaran Allah.
Bila banyak orang haji, tentu perilaku bangsa lebih baik. Tapi bangsa ini tetap kurang baik keadaannya. Kenapa?
Itu karena lebih banyaknya gap (jarak), baik dari sisi sosial, ekonomi, intelektual hingga spiritual. Misalkan kita punya cendikiawan kelas internasional macam almarhum Nurkholis Majid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tapi di sisi lain banyak sekali dari bangsa ini yang masih buta huruf. Ada juga konglomerat yang tingkat kekayaannya sudah mendekati orang terkaya di dunia, tapi tak sedikit dari bangsa ini yang cari makan saja kerepotan.
Bila ada pendapat, haji perlu dibatasi sekali saja seumur hidup dan bila ingin haji lagi diharapkan uangnya disedekahkan kepada fakir miskin, bagaimana?
Begini, ada orang kaya. Ia sudah zakat, sedekah, sudah bayar pajak, bangun masjid dan memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya. Tapi ternyata uangnya masih lebih... ya tidak apa-apa haji lagi. Karena orang yang sudah haji itu, pasti merasa ada yang kurang, mungkin tawafnya, sa’inya dan lainnya. Ia berhaji lagi untuk menyempurnakan haji yang kurang tersebut. Ini sah-sah saja dan hak setiap umat Islam. Karena bila kita pikir secara jernih, sesungguhnya yang bertanggung jawab terhadap persoalan kemiskinan itu adalah pemerintah, dan itu termaktub dalam UUD.

Wawancara dengan Prof Dr KH Said Aqil Syiraj (Ketua PBNU Jakarta)
Adib Minanurrachim, Bilyantoro dan Azty Arlina
Dimuat di SC Magazine No V

KOMUNITAS ARAB AMPEL: MEMAKMURKAN AMPEL DAN BERDAGANG

Komunitas Arab merupakan salah satu pendatang tertua di Indonesia. Konon mereka masuk ke Indonesia sebelum Belanda, Inggris dan Portugis. Mereka mendiami beberapa tempat di Indonesia. Salah satunya adalah Ampel Suci dan Ampel Masjid di sekitar Masjid Sunan Ampel Surabaya. Bagaimana perkembangannya saat ini?

JUMAT pagi pukul 08.00 wib, sepanjang jalan menuju Masjid dan Makam Sunan Ampel mulai ramai. Beberapa pedagang keturunan Arab yang menempati toko di kanan-kiri jalan sibuk menawarkan barang dagangannya kepada para calon pembeli. Ada tasbih, sarung, songkok, mukena, aksesoris dan lainnya. Sementara pedagang lain, seperti keturunan Jawa dan Madura juga tak kalah semangat menawarkan barang dagangannya seperti kurma, kue, minyak wangi hingga nasi. Sementara para pengunjung yang datang secara berkelompok atau sendiri-sendiri, ada yang tertarik lalu berhenti sejenak, tawar-menawar harga dan membelinya. Tapi tak sedikit dari mereka yang langsung masuk ke Masjid dan terus melangkah ke arah barat menuju makam Sunan Ampel, berziarah.
Meski di sekitar Masjid Ampel ada pedagang Jawa dan Madura, tapi mayoritas adalah keturunan Arab. Mereka terpusat di dua tempat, yaitu Ampel Masjid dan Ampel Suci. Rata-rata para pedagang keturunan Arab di dua tempat ini memiliki toko. Sementara para pedagang Jawa dan Madura hanya bisa berjualan di pinggir jalan dan di sela-sela toko milik para pedagang keturunan Arab.
Umumnya, para pedagang keturunan Arab itu berasal dari Hadramaut, daerah di Yaman Selatan, sebagai pedagang sekaligus menyebarkan Islam. Di Surabaya mereka mendiami wilayah padat di Kota Bawah, kawasan yang dibatasi Kalimas (sebelah barat), Sungai Pegirian (timur), Kembang Jepun (selatan), dan selat Madura (utara).
Ada beberapa pendapat yang mengatakan kapan mereka datang. Ada yang menyebut sejak abad ke 10 M atau sebelumnya. Ada yang memperkirakan abad ke 12 M sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Tapi gelombang besar imigran Arab diperkirakan datang ke negeri ini setelah abad ke 17 M. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman kota-kota pantai Jawa seperti Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil dan sebagainya. Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Yogyakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan ada yang tinggal di Maluku Utara, seperti Ternate, Tidore, dan juga di NTT dan Timor (dulu Timor-Tomur). Rata-rata mereka datang tanpa istri, kemudian kawin dengan warga setempat dan beranak-pinak.
Di Surabaya, jumlah penduduk keturunan Arab diperkirakan mencapai ratusan ribu orang. Umumnya mereka adalah pedagang dan sebagian kecil ulama. Tapi setelah tahun 1960-an, profesi mereka mulai beraneka ragam. Ada yang menjadi guru, dosen, pengacara, wartawan, pekerja sosial, bekerja di pabrik atau perusahaan asing dan sebagainya.
***
AKTIVITAS perdagangan yang digeluti keturunan Arab di sekitar Masjid Sunan Ampel, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ketokohan Sunan Ampel. Ini seperti yang dikatakan Musthafa Jamal, salah satu pedagang keturunan Arab. “Sebab utama kami mendirikan toko karena banyaknya peziarah di sini. Alhamdulillah mereka senang berbelanja di sini untuk oleh-oleh bagi keluarganya di rumah,” katanya.
Musthafa Jamal adalah lelaki keturunan Arab yang lahir dan besar di kawasan Ampel. Kakek buyutnya berasal dari Hadramaut, Yaman. Tiba di Indonesia, kakek buyutnya menikah dengan orang Mataram. Lalu memilih kawasan Ampel sebagai tempat tinggal. Saat ini ia melanjutkan usaha dagang keluarganya dengan membuka toko di daerah Ampel Suci yang terletak di sebelah selatan Masjid Ampel.
Menyadari makin meningkatnya rezeki yang ia peroleh, Musthafa mensyukurinya dengan selalu memakmurkan Masjid Ampel. Sementara sebagai ungkapan terima kasih kepada Sunan Ampel yang secara tidak langsung mendatangkan para pengunjung dan pembeli, seminggu sekali Musthafa berziarah ke makam Sunan Ampel. “Masjid Ampel ini merupakan kebanggaan. Karena masjid ini bersejarah dan Sunan Ampel sendiri termasuk Walisongo, bahkan yang tertua dari para sunan. Sehingga di samping bersyukur kepada Allah, kita juga berterima kasih kepada Sunan Ampel. Karena dengan adanya makam Sunan Ampel, banyak orang datang ke sini sehingga ratusan pedagang bisa memperoleh keuntungan,” kata pria yang juga menjadi pendidik di majlis ta’lim di rumahnya.
Meski mengaku selalu istiqomah berziarah ke makam Sunan Ampel, tapi Musthafa tidak mengatakan bahwa apa yang ia lakukan juga selalu dilakukan oleh keturunan Arab lainnya. Bahkan tak sedikit dari keturunan arab yang tidak pergi ke Masjid Ampel dan berziarah ke makam Sunan Ampel. Menurut Musthafa, itu karena adanya pemahaman yang berbeda. Di antara mereka ada yang bermadzhab seperti di Saudi Arabia, di mana sangat anti terhadap ziarah bahkan menganggapnya syirik. Sehingga di antara mereka enggan untuk shalat di Masjid Ampel karena di depannya terdapat makam. “Menghadapi mereka tidak perlu dibalas dengan benci. Bila saling menyalahkan itu tidak akan ada selesainya. Percuma. Itu sudah dari dulu. Selama mereka tidak mengganggu kita, itu tidak masalah. Lana a’maluna wa lakum a’malukum (bagi kita amal perbuatan kita, dan bagimu amal perbuatanmu),” lanjutnya.
***
SEMENTARA itu, di tempat terpisah, Ustadz Muhammad Azmi, ketua ta’mir masjid Ampel ketika ditanya tentang ziarah, mengatakan kepada SC bahwa ziarah merupakan ibadah seperti membaca al Qur’an, tahlil dan kalimat toyibah yang dilakukan secara khusyu dan khudhu. “Ziarah kubur itu dianjurkan dalam agama Islam, sebab di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar. Baik bagi orang yang telah meninggal dunia berupa hadiah pahala bacaan Al-Qur’an, atau pun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya,” katanya.
“Tapi saat ini,” lanjut Azmi “ada pencampuran nilai dengan pelabelan Wisata Religi pada makam Sunan Ampel. Padahal makna wisata itu lebih pada senang-senang. Ini kan bertolak belakang dengan ziarah,” sesalnya.
Fenomena label wisata pada makam Sunan Ampel sudah berlangsung sekira 3 tahun yang lalu. Ini bisa dijumpai dari gapura sebelum masuk ke kawasan Ampel. Pada papan gapura tersebut bertulisakan “Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel”.
Rasa sesal yang dikeluhkan Azmi tersebut memang bukan tanpa asalan. Saat ini, banyak sekali para pengunjung yang tidak semuanya bertujuan berziarah ke makam Sunan Ampel. “Dulu ketika saya masih berjualan tahu di sekitar sini, orang yang mau ziarah itu tampak khusyu dan sopan. Klunuk-klunuk (berjalan pelan-pelan) langsung ke makam. Tapi saat ini, terutama setelah adanya kebijakan tentang wisata religi, yah... banyak yang hanya lihat-lihat dan atau cari jodoh,” kata Khoirul Anam, pedagang dari suku Jawa.
Meski mengeluhkan akan merosotnya fenomena nilai spiritual tersebut, Anam, lelaki yang biasa menggunakan kaca mata hitam ini tidak mengelak ketika ditanya manfaat dari kebijakan tersebut. “Memang harus saya akui kebijakan itu mendatangkan banyak pengunjung. Tentu ini menambah keuntungan,” katanya sambil tersenyum malu-malu.
Sementara Azmi, ketika ditanya sikapnya tentang kebijakan tersebut, ia berharap pemerintah bisa menempakan tenaga ahli yang bisa mengarahkan para pengunjung yang datang ke makam Sunan Ampel. “Saya agak kurang bisa meneriman bila orang yang datang ke Ampel itu untuk wisata. Karena dia tidak menghormati Sunan Ampel sebagai tokoh, ulama dan wali. Tapi bila pemerintah ada maksud dakwah di dalam program wisata religi, hendaknya pemerintah harus menempatkan tenaga ahli yang bisa mengarahkan para pengunjung ke makam-makam wali,” lanjut pria yang enggan dipotret ini.
***
KUMANDANG adzan terdengar dari Masjid Ampel, menunjukkan waktu Shalat Jum’at akan segera dilaksanakan. Musthafa, Anam dan para pedagang lelaki lainnya mulai meninggalkan toko, menuju ke sumur yang terletak di pinggir masjid. Mengambil wudhu, berdo’a dan melangkah ke dalam masjid, beriktikaf. Sementara toko-toko mereka dijaga oleh istri atau pembantu wanita.
Ruangan Masjid Ampel sangat luas dan tinggi. Beberapa tiang bercat coklat yang di sekelilingnya terdapat kaligrafi al Qur’an, berdiri kokoh menyangga atap masjid. Sementara beberapa pintu jendela dibiarkan terbuka lebar-lebar. Sehingga angin begitu leluasa berhembus ke dalam. Menerpa wajah para jamaah yang khudu’ mendengarkan kohtbah khotib siang itu.
Di dalam masjid yang didirikan pada tahun 1421 ini terdapat beberapa benda bersejarah. Salah satunya adalah Mihrab yang biasa digunakan Sunan Ampel berkhotbah. Mihrab ini terbuat dari kayu jati tebal dan bercat kuning keemasan. Meski sudah berumur ratusan tahun, tapi mihrab yang di bagian atasnya terdapat lambang kerajaan majapahit ini masih kokoh.
Sementara di bagian luar masjid terdapat beberapa makam yang biasa dikunjungi para peziarah. Di antaranya adalah makam Sunan Ampel dan Mbah Bolong yang terletak di sebelah barat masjid, serta makam Mbah Sholeh yang terletak di sebelah timur masjid.
Selang setengah jam, terdengar suara iqomah. Para jama’ah berdiri, merapatkan shaf, bersiap melaksanakan takbiratul ikhram. “Allahu akbar...” terdengar suara Imam diikuti para jamaah. Shalat Jum’at berlangsung dengan khusyu dan khudhu...*

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

SANLAT RAMADHAN JAMA’AH SHALAT KHUSYU: KADERISASI SPIRITUALIS

Nikmat bertemu Tuhan adalah tingkat kebahagiaan tak ternilai. Hanya kesungguhan dan totalitas diri bisa menggapainya. Ustadz Abu Sangkan melatih jama’ah shalat khusyu meraih kebahagiaan itu lewat shalat, sekaligus melakukan kaderisasi demi lahirnya masyarakat spiritualis.

PAGI pukul 05.00 wib, seusai menunaikan ibadah shalat subuh, para jama’ah shalat khusyu duduk dengan khudhu dalam ruangan Aula Srikandi di Bumi Perkemahan dan Ghraha Wisata (Buperta) Cibubur Jakarta Timur. Di hadapan mereka berdiri Ustadz Abu Sangkan. Sambil menebar senyum, ustadz berpenampilan rapi ini membacakan lafadz laa ilaha illa Allah dengan irama lambat, lalu bertanya pada jamaah, “apa yang anda ingat?” Seorang jamaah yang duduk di pojok ruangan menjawab, ia teringat nuansa musala kampung dengan bacaan syahadah yang malas dan rasa kantuk. Kemudian ustadz yang akrab di sapa ABS ini mengganti irama syahadah dengan irama bersemangat, lalu bertanya lagi pada jamaah. Seorang jamaah yang berada di tengah-tengah menjawab bahwa ia turut bersemangat kala mendengar bacaan tersebut. “Nah, inilah letak perbedaannya,” jawab ABS. “Ini merupakan pengaruh irama. Sama ketika kita mendengarkan musik Mozart. Tapi Mozart berbeda dengan Al Qur’an. Bila Mozart hanya melahirkan kecerdasan emosional, sementara Al Qur’an bisa sekaligus memperoleh kecerdasan spiritual. Bila Mozart hanya menyajikan ruang, Al Qur’an sekaligus menyuguhkan makna,” jelasnya.
Tanya jawab di atas adalah salah satu dari rangkaian acara Pesantren Kilat (Sanlat) Ramadhan yang diadakan jama’ah shalat khusyu di Aula Srikandi Buperta Cibubur Jakarta Timur pada 28-29 September lalu. Menurut R. Iman Tauchid, Ketua Yayasan Shalat Khusyu sekaligus ketua panitia, acara tahunan ini terdiri dari para jamaah yang sebelumnya pernah mengikuti pelatihan shalat khusyu dan merupakan perwakilan dari beberapa daerah di seluruh Indonesia. “Pesertanya terbatas, sekira 180 orang. Mereka merupakan perwakilan dari tiap daerah atau ketua-ketua halaqah. Harapannya, sepulang dari acara ini mereka bisa menjadi trainer-trainer handal di daerahnya masing-masing,” katanya.
Pernyataan Iman tentang lahirnya trainer kompeten di tengah-tengah masyarakat, sekilas tak berbanding lurus dengan format acara yang lebih mengarah pada pengajian kilat. Ini tergambar dari spanduk yang terbentang di dalam ruangan acara yang dipenuhi aroma bunga sedap malam. Di situ tertulis Sanlat Ramadhan. Bukan Train of Trainer (TOT). Tapi demikian, Iman mengatakan bahwa materi yang diberikan kepada peserta Sanlat Ramadhan berbeda dengan materi yang diberikan kepada peserta biasa. “Materi yang diberikan lebih bersifat pendalaman. Karena di antara mereka adalah ketua halaqoh atau SC daerah. Misalkan ada H Taba Iskandar dari SC Batam, Pak Usman dari Samarinda, Pak Fahri dari Jember, H. Muh Imran Yusuf dari Makassar dan lainnya,” lanjut suami dari Ny Nunung Nuryanti ini.
Pendalaman materi yang dimaksud Iman tergambar dari materi awal yang disampaikan ABS di awal acara yang dimulai pukul 19.00 wib. Di dalam ruangan berukuran sekira 15 m x 10 m tersebut, ABS membedah esensi puasa. “Puasa merupakan ibadah yang tak ada bacaannya. Puasa itu bukan terawaih, tadarus dan lainnya. Puasa adalah mempertahankan kecenderungan nafsu terhadap segala sesuatu yang dilahirkan dari tanah, melalui kesadaran bahwa kita sebenarnya berasal dari tanah. Proses mempertahankan diri ini akan menjadikan jasmani kita lemah. Tapi setelah 3-4 hari kita akan mengalami kebugaran. Nah itulah penemuan ruh. Karena puasa merupakan meditasi untuk kembali menjadi fitrah, kembali pada esensi ruh yang suci dan tak terbatas oleh ruang dan waktu,” kata ustadz berpenampilan low profile ini.
Lebih jauh, Iman mengatakan bahwa ABS juga memberikan materi seputar psikologi massa. “Diberikan juga materi soal bagaimana menghadapi massa melalui sharing pengalaman. Saya sendiri, dulu pernah memberikan solusi. Misalkan saya menyuruh seseorang untuk membeli bakso dan teh manis di sebuah toko pizza. Melakukan tugas ini, orang pasti berdebar-debar karena barangnya kan tidak ada. Dia pasti menduga-duga reaksi dari waiternya, marah atau bagaimanalah. Jadi ini terkait dengan niat. Nah dalam hal ini, Ustadz Abu tadi juga menyampaikan, bila kita memiliki keyakinan akan kebesaran Allah, kita tidak akan kebingungan soal dana pelatihan shalat khusyu,” tutur pria yang berprofesi sebagai konsultan hukum ini.
Sementara itu, salah satu peserta yang sudah mengenal dan mendalami shalat khusyu bercerita kepada SC, bahwa ia telah merasakan kesegaran ruhani yang sebelumnya dicari sejak usia muda. “Alhamdulillah, ini merupakan pencarian saya tentang tazkiyatun nafs sejak usia 19-20 tahun. Waktu itu saya kan mencari melalui berbagai buku dari ulama-ulama Martapura mengenai makrifatullah di mana saya tidak pernah paham. Tapi saat ini banyak terjawab. Ini lho kita mati, kembali kepada Allah, mati sebelum mati atau dalam istilah Al Qur’an antal maut qoblal maut, matikan dirimu sebelum kamu mati,” kata Mohamad Nasir, peserta dari Mimika Papua.
Dari pengalaman spiritual tersebut, Iman berharap bahwa para peserta Sanlat Ramadhan nantinya bisa menyebarkan ajaran shalat khusyu ke tengah-tengah masyarakat. “Saya benar-benar berharap para peserta bisa mengembangkan ajaran ini. Karena bila masyarakat sudah bisa menikmati shalat dan bisa membuktikan bahwa shalat itu mencegah kemungkaran, bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukannya. Habis dengan apa lagi kita berjuang memperbaiki bangsa ini bila tidak melalui shalat? Saya yakin, kita bisa memperbaiki bangsa ini melalui shalat khusyu yang melahirkan akhlakul karimah. Dan itu tidak susah,” kata bapak tiga putra ini.
Mendengar ajakan tersebut, Taba Iskandar, salah satu peserta Sanlat Ramadhan dari Batam menyatakan bahwa setelah ia merasakan kesegaran ruhani dari shalat khusyu, secara pribadi ia tergerak untuk menyebarkan kenikmatan shalat kepada keluarga dan lingkungan di sekitarnya. “Saya punya obsesi—paling tidak—saya bisa mengajak keluarga dan lingkungan terkecil di sekitar saya untuk bersama-sama melaksanakan shalat khusyu. Karena bila masyarakat dan para pejabat itu shalatnya khusyu, saya yakin kita tidak akan mengaami kesulitan untuk membangun bangsa ini. Karena selalu mendapat bimbingan dari Allah,” kata pria yang berprofesi sebagai anggota DPRD Kepulauan Riau ini.*

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

“PUISI, EKSPRESI SPIRITUALITAS DIRI”

SENIN siang (06/08), lingkungan di sekitar pesantren Ibnu Cholil yang terletak di Jl Halim Perdana Kusuma Bangkalan Madura ramai. Beberapa mobil berjejer di depan aula pesantren. Saat itu sedang dilaksanakan bedah buku biografi almarhum K.H.M. Cholil AG, salah satu ulama kharismatik Madura dan pendiri pesantren putri Syechona Cholil II Bangkalan. Acara yang dimoderatori Risang, wartawan Radar Madura itu mengundang Prof Dr Mahfudz MD dan D Zawawi Imran.

Dalam acara bedah buku itu, Pak D—panggilan akrab D Zawawi Imran—bercerita tentang hikmah mengenang seorang ulama besar. Ia kemudian membacakan puisi tentang Muhammad Rosulullah dengan kebanggan yang terpancar dari sorot mata dan suaranya:
Karena cinta kepada Nabi bacalah shalawat kepada Nabi
Kalau Allah tidak mengutus Nabi gelaplah jiwa gelaplah hati
.....
Akhlak Nabi bagai bunga-bungaan harum semerbak tiada tandingan
Wahai Nabi, wahai junjungan
Kami senang mengikut tuan
.....


Hadirin diam menyimak, tersenyum dan kemudian bertepuk tangan. Tapi Pak D belum selesai. Di aula pesantren pimpinan KH Imam Buchori Cholil itu, ia mempersembahkan puisi berjudul Ibu sebagai penutup acara bedah buku biografi KHM Cholil AG. “Kebetulan sabtu kemarin tepat 40 harinya ibu saya meninggal. Tapi saya ada di Samarinda sehingga tidak bisa ikut bersama keluarga. Saya hendak membaca puisi berjudul Ibu yang saya tulis pada tahun 1966, sebelum saya berumur 20 tahun. Puisi ini punya sejarah, puisi ini yang membuat saya diundang di festival internasional di Belanda. Dan semoga makna puisi ini bermanfaat bagi kita semua,” katanya dengan mimik haru.

Ibu.....
Kalau aku merantau dan datang musim kemarau
Sumur-sumur kering
daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mata air air matamu ibu
Yang tetap lancar mengalir
-
Ibu...
Kalau aku merantau
sedap kopyor susumu
Dan ronta kenakalanku
Di hati pada mayang siwalan
memutikkan sari-sari kerinduan
karena hutangku padamu ibu
hutangku padamu ibu
hutangku padamu ibu
hutangku padamu ibu
hutangku padamu ibu
tak kuasa kubayar
-
Ibu adalah buah pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga tembang merebak bau sayap
Ibu menunjuk ke langit kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

.....
-
Ibu...
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya pahlawan
Namamu ibu yang akan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu
-
Kalau aku berlayar lalu datang angin sakau
Tuhan yang Ibu tunjukkan sudah kudengar
Ibulahlah ibu bidadari yang berselendang bianglala
Sejenak datang padaku menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku.

***
TEPAT pukul 14.00 wib, acara bedah buku selesai. Beberapa tamu dan undangan masuk ke dalam ruang makan yang telah disediakan panitia. Sementara Pak D menemui wartawan SC yang menunggu di serambi masjid Pesantren Ibnu Kholil. Berikut petikan wawancara bersama sastrawan yang juga akrab disebut si Celurit Emas ini tentang sastra pesantren dan kandungan spiritualitas di dalamnya:
Bagiamana perkembangan sastra pesantren saat ini?
Bagus. Bahkan kalau bisa disebut karya santri, bisa dilihat Ayat-Ayat Cinta yang lagi booming karya Habiburrahaman el Shirazy. Sastrawan yang lebih terkenal lainnya adalah Musthafa Bisri, Emha Ainun yang sejak di Gontor sudah menulis puisi di awal tahun 1980-an dan lainnya.
Yang mempengaruhi sastra pesantren?
Dahaga hati dan rasa indah yang selalu dalam hati. Subtansi dari puisi itu adalah kemanusiaan dan keindahan hidup ini. Keindahan itu perlu dihayati dan dinikmati dengan cara hidup sebagai manusia. Bila unsur-unsur kebinatangan merasuki hidup manusia, maka hidup tidak akan indah lagi. Jadi bagaimana menikmati kehidupan ini dengan indah melalui persaudaraan, mengekang hawa nafsu. Bila hawa nafsu menguasi kehidupan manusia maka habislah. Karena itu hawa nafsu itu perlu difilter. Tapi bila tidak bahaya semisal nafsu kepada istri dan makan, ya jangan difilter. Di sinilah dibutuhkan kecerdasan emosianl agar seseorang bisa mengendalikan nafsu dan menempatkan sesuai pada tempatnya. Nah di sini yang disebut akhlakul karimah yang oleh orang-orang disebut moral.
Menurut saya, moral dan akhlakul karimah itu beda. Moral adalah kesepakatan-kesepakatan dalam hidup manusia. Sementara akhlakul karimah, itu sudah berkaitan dengan Allah. Bagaimana cinta pada Allah itu tidak hanya mempengaruhi pribadi seseorang, tapi juga bisa menjadikan cinta yang rahmatan lil alamin. Sehingga kehadiran kita di dunia ini masih ada manfaatnya pada orang lain. Jadi puisi pun juga harus ada manafaatnya bagi orang lain. Ini sesuai dengan sabda Nabi khoirunnas angfauhum linnas. Bila puisi tidak ada manfaatnnya, sama dengan orang ngeleindur (berbicara setengah tidur). Jadi puisi itu juga harus menyampaikan sesuatu, bagian dari ayat-ayat Allah, yang kemudian bisa disebut dakwah.
Apakah sastra juga merupakan media untuk menuangkan spiritualitas seseorang?
Ya tergantung siapa yang punya bahasa. Orang yang ahli dalam bahasa sastrawi, itu paling enak menuangkannya kepadatan jiwa melalui puisi. Apalagi bila dikaitkan dengan pesantren, kan bahasa Al Qur’an sendiri adalah bahasa yang indah. Persamaan bunyi, irama dan bahasa yang indah. Jadi tidak mustahil. Karena dalam hadist juga disebutkan, innallaha jamiil yuhibbul jamal (Allah itu Indah dan menyukai sesuatu yang indah).
Banyak orang mengatakan, puisi anda kental muatan spiritualitasnya, bagaimana menurut anda?
Wah, kalu itu saya tidak bisa mengatakan. Itu kewenangan pengamat.
Selain terus meningkatan kemampuan anda, apakah anda juga memberikan kuliah sastra pada anak-anak muda di pesantren?
Ya, setelah kegiatan bersyair saya semakin bergairah, saya juga memotivasi anak-anak di Pesantren al Amin Prenduan Sumenep. Di sana ada teater Hilal, dan alhamdulillah saat ini sudah banyak melahirkan penyair, seperti Jalal D Rahman yang sekarang menjadi Pemred Horison. Tapi demikian, di sana sifatnya saya bukan pengajar, karena puisi memang tidak bisa diajarkan. Barangkali lebih tepat bila dikatakan bahwa saya adalah salah satu penggairah sastra di pesantren tersebut.
Cara menumbuhkan gairah sastra?
Kita bacakan puisi yang bagus, kemudian memberikan apresiasi terhadap karya mereka. Jadi kita memang membawa mereka pada suasana sastra yang menarik. Kebetulan mereka tertarik. Karena mereka memang tidak punya kegiatan lainnya, selain sekolah dan mengaji. Di sela-sela waktu senggang, mereka berminat menulis puisi juga. Apalagi di Al Amin memang ada buletin bernama Qolam yang juga memuat karya-karya sastra.
Sebagai penyair, apa yang anda harapkan dari pendengar?
Ya diharapkan mereka mampu menyerap apa yang disampaikan. Tapi kita kan tidak boleh hanya mengharapkan orang lain sementara kita tidak bisa membangun kata-kata yang bisa diserap oleh orang lain. Jadi dalam dunia kepenyairan juga ada kewajiban membangun kata-kata yang bisa menjadi sebuah komunikasi intensif antara makhluk

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

BEREKSPRESI LEWAT PUISI

Sastra pesantren kini memiliki tempat tersendiri di tengah-tengah aneka ragam genre sastra di tanah air. Cakupan temanya luas, tak melulu bicara pesantren.

D. ZAWAWI IMRON dilahirkan di Sumenep, Madura, tahun 1946. Perkenalannya dengan dunia sastra dimulai sejak ia masih berumur belasan tahun. “Saya kenal sastra itu sejak kecil, karena di Madura dulu itu kan terkenal sastra lisan. Kemudian ketemu syair-syair agama dalam bahasa Indonesia, di sebuah pesantren di Gapura sebelah timur Sumenep Madura,” katanya.
Sebagai orang yang menggemari sastra, mulanya Pak D tidak mempunyai bayangan bahwa ia akan menjadi seorang penyair. Ia menulis puisi, selain karena pengaruh budaya Madura yang terkenal dengan sastra lisannya, juga karena baginya menulis puisi adalah semata-mata media berekspresi. “Menulis puisi itu kenikmatan sendiri sebagai media ekspresi. Kala itu saya tidak pernah bercita-cita menjadi penyair. Sama sekali tidak pernah. Tapi saya terus menulis. Barulah kemudian pada tahun 1960-an, ada seorang teman yang mengetikkan puisi saya dan dikirimkan ke Minggu Birawa yang redakturnya adalah Pak Sungkan Hadi Oetomo, ternyata dimuat,” katanya tersenyum.
Setelah mengetahui buah karyanya memperoleh respon positif, semangat Pak D makin menggeloara terhadap sastra. “Sesudah itu, menulislah terus. Pada tahun 1977, terbit buku puisi saya, Semerbak Mayang. Kemudian terbit buku Madura, Akulah Darahmu. Tahun 1982 saya mewakili Jawa Timur mengikuti forum PKR 10 kota di Jakarta. Waktu itu antara lain saya membawa puisi berjudul Bulan Tertusuk Ilalang yang akhirnya terbit dan kemudian oleh Garin Nugraha difilmkan. Setelah itu, ya kegiatan bersyair saya semakin bergairah di samping pada pertengahan tahun 80-an memberikan motivasi kepada anak-anak Pesantren al Amin Prenduan Sumenep,” lanjutnya.
Selain dikenal sebagai sastrawan yang kental akan budaya Madura, Pak D juga dikenal sebagai sastrawan pesantren. Ini terlihat dari pusi Muahmmad Rosulullah di awal tulisan ini atau beberapa karya lainnya.
***
BERBICARA sastra pesantren, sastrawan Ahmad Tohari pernah menawarkan batasan. Menurut penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini, sastra pesantren merupakan karya sastra yang hidup dan diciptakan oleh kalangan pesantren, atau karya sastra yang bermuatan misi dakwah. Tentu saja, kalimat “karya sastra yang bermuatan misi dakwah” dalam batasan ini, sangat longgar. Sebab, banyak sastrawan kini yang menghasilkan karya sastra bermuatan misi dakwah, tapi mereka tidak berasal dari kalangan pesantren. Bahkan, banyak karya sastra tentang kehidupan pesantren lengkap dengan segala tata nilai masyarakatnya, namun tidak dihasilkan oleh sastrawan yang punya hubungan erat dengan pesantren.
Karya-karya sastra yang dihasilkan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) di seluruh Indonesia, sebagian bukan produk pesantren, tapi sangat kental memuat misi dakwah agama Islam. Dalam novel-novel Gola Gong misalnya, terutama yang diterbitkan Mizan, misi dakwah itu menjadi ruh yang menghidupi karya tersebut. Begitu juga dengan cerpen-cerpen bahkan komik, semua unsur yang membentuk karya-karya itu hanya sebagai pelengkap dari misi dakwah agama Islam tersebut.
Artinya, batasan “bermuatan misi agama” itu hanya memberi pengertian umum dan bukan ciri khas. Dalam kesusastraan kita kini, ada banyak sastrawan yang merupakan produk pesantren, yang mempunyai kontribusi besar dalam khasanah kesastraan Indonesia mutakhir, seperti KH Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Fudoli Zaini, Acep Zamzam Nur, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Jamal D Rahman, Mathori A Elwa, Nasruddin Anshory dan lainnya. Tapi para sastrawan produk pesantren itu tidak hanya menulis kehidupan di sekitar pesantren, melainkan juga menulis tentang banyak hal sebagaimana sastrawan lain yang bukan produk pondok pesantren. Sebut saja Ahmad Tohari, yang lebih menekuni kehidupan pedesaan dengan segala macam variasinya, baik dalam bentuk cerpen maupun novel. Acep Zamzam Noor lebih banyak dipengaruhi globalisasi peradaban, dan membentuknya sebagai penyair yang santri. Sementara D Zawawi Imron memilih menulis puisi yang kental akan tradisi budaya Madura.
Sekalipun mereka dan D Zawawi Imran tidak melulu bicara kehidupan pesantren, namun kekhasan seorang santri tetap ditemukan dalam karya-karya mereka. Kekhasan ini berkaitan dengan nilai-nilai agama Islam yang mereka anut, yang begitu kental di dalam diri mereka sehingga menghasilkan karya-karya sastra yang kuat akan spiritualitas.

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

“SPIRITUALITAS HARUS TERUS DIASAH”

ANGGOTA dewan gubernur di Bank Indonesia (BI) tentu saja orang pilihan. Ia harus memahami persoalan yang menghimpit ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya industri perbankan. S Budi Rochadi adalah salah satu Deputi Gubernur bank Indonesia selain Miranda S. Goeltom (Deputi Gubernur Senior), Bun Bunan EJ. Hutapea (Deputi Gubernur), Aslim Tadjuddin (Deputi Gubernur), Hartadi. A. Sarwono (Deputi Gubernur), Siti Chalimah Fadjrijah (Deputi Gubernur), dan Muliaman D. Hadad (Deputi Gubernur).
Budi mengawali karirnya di Bank Indonesia (BI) sebagai staf bagian pengawasan kredit, pada tahun 1975. Selang enam tahun kemudian, Budi ditugaskan pada bagian pemeriksaan bank, tingkat III, masih pada bagian yang sama yaitu pengawasan kredit. Tahun 1984, Budi kembali dipindahtugaskan, kali ini pada bagian penilitan dan pengembangan, sebagai kepala desk.
Tahun 1988, pria kelahian Solo, 24 Maret, 56 tahun lalu ini, karirnya mulai menanjak, yaitu menjadi Wakil Kepala Bagian Pengolahan Data. Tak lama setelah itu, pada tahun 1991, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Pengolahan Data.
Tahun 1994, Budi kembali ke pengawasan perbankan, kali ini menjabat sebagai Pemeriksa Bank Eksekutif Senior, di Urusan Pengawasan Bank Umum I. Tidak lama kemudian karirnya kembali meningkat, ia dipercaya menjabat sebagai kepala urusan Pengawasan Bank Umum III pada tahun 1997.
Ketika terjadi krisis ekonomi, Budi menjabat sebagai Kepala Urusan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan. Sebelum kemudian pada tahun 1998, dia ditunjuk untuk memimpin Kantor Bank Indonesia (KBI) Semarang.
Tahun 2000, dia dipanggil kembali ke kantor pusat, untuk menjabat sebagai Pegawai Utama Setingkat Direktur, di Direktorat Sumber Daya Manusia. Tak lama berselang dia ditugaskan untuk memimpin KBI Medan pada September 2000.
Sebelum menjabat sebagai Kepala Kantor Perwakilan BI di Tokyo, Jepang sejak tahun 2003, Budi sempat menjadi staf ahli Gubernur BI, di biro sekretariat. Dan sekarang ia menjabat Deputi Gubernur di BI Jakarta.
***
SEBAGAI Deputi Gubernur BI, Budi memegang prinsip pengabdian dalam menunaikan tugas-tugas yang ia emban. “Selama menjabat, saya tidak merasa ada halangan, karena dasarnya pengabdian. Jadi apa saja jabatannya, itu bukan persoalan. Saya tidak ada target, harus jadi ini atau itu. Karena dasarnya adalah pengabdian dan ibadah,” katanya.
Prinsip mengabdi tersebut, sudah ia tanamkan selepas bangku SLTA. Keteguhannya ini terinspirasi dari ayahandanya yang berprofesi sebagai guru. “Ayah saya dulu seorang guru sehingga lebih banyak mengabdikan dirinya pada negara. Namanya Sunarto Hadiaswoyo. Beliau sebenarnya tentara kemudian keluar untuk menjadi guru. Jadi sepanjang perjalanan hidupnya itu hanya untuk mendirikan sekolah di tempat-tempat terpencil dan mengajar dengan naik sepeda yang saya pikir cukup jauh dari rumah saya di Solo. Jaraknya kira-kira 20 kilometer. Itu tiap hari,” ceritanya kepada wartwan SC.
Seiring perjalanan hidup yang ia jalani, prinsip pengabdian ternyata melahirkan ketenangan bagi suami Ny. Sri Wati Rochadi ini. Terlebih setelah ia mengikuti beberapa komunitas yang bergiat dalam bidang spiritualitas, seperti Perguruan Tenaga Perana dan Pelatihan Shalat Khusyu. Mengenai pengalamannya dalam bidang spiritual, berikut petikan wawancara wartwan SC dengan bapak dua putra ini di halaman rumahnya, Puri Handayani di jl Rasamala:

Apa prinsip anda dalam menapak karir di dunia perbankan?
Prinsipnya adalah pengabdian dan ibadah. Karena Orang mengabdi itu kan mau jadi apa saja kan bukan persoalan. Jadi tidak ada target, bahwa saya harus jadi ini dan itu.

Apakah prinsip itu anda tanam sejak muda?
Semangat pengabdian itu sejak SMA. Harapan pertama saya itu menjadi tentara. Ingin mengabdi pada negara. Tapi perjalanan membawa saya berkarir di dunia perbankkan. Sikap mengabdi itu akan mempengaruhi sikap yang tanpa pamrih. Pekerjaan sebagai ibadah. Jadi tiap tugas yang saya emban, akan saya lakukan dengan sebaik mungkin.

Siapakah yang mempengaruhi anda?
Bila pendidikan saya kira kurang mempengaruhi. Tapi bila lingkungan, mungkin. Dulu ayah saya seorang guru sehingga lebih banyak mengabdikan dirinya pada negara. Namanya Sunarto Hadiaswoyo, beliau sebenarnya tentara kemudian keluar untuk menjadi guru. Jadi sepanjang perjalanan hidupnya itu hanya untuk mendirikan sekolah di tempat terpencil dan mengajar dengan naik sepeda yang saya pikir cukup jauh lokasinya dari rumah saya di Solo. Jaraknya kira-kira 20 kilometer. Ia naik tiap hari. Selain tauladan dari ayahanda, pengaruh berikutnya adalah pergaulan bersama teman-teman. Kebetulan saya bergaul dengan kawan-kawan dari Jogja dan Solo. Orang Jogja dan Solo itu kan sikapnya tidak terlalu memikirkan materi. Lain dengan Jakarta.

Bila spiritualisme apakah juga mempengaruhi anda?
Saya pikir iya. Karena saya memang senang sesuatu yang banyak spiritualnya. Misalkan saya ikut perguruan tenaga dalam. Itu sebanarnya juga olah batin. Kemudian saya juga ikut Tenaga Perana, yang guru besarnya dari Filipina. Itu juga spiritual. Kemudian ketemu dengan ustadz Abu Sangkan, itu satu hal yang memengaruhi hidup saya.

Apa yang anda ambil dalam komunitas spiritual itu?
Saya selalu mengambil yang bener. Artinya tidak ada yang untuk kesaktian. Karena kebatinan untuk kesaktian itu kan ada. Intinya adalah kepasrahan dan mencoba untuk bergerak prospektif.

Dari tenaga dalam itu ada sisi spiritualnya?
Ada. Saya ambil contoh yang dasarnya bukan Islam. Misalkan Tenaga Perana. Itu guru besarnya dari Filipina, eks pengusaha dan beragama katolik. Tapi dasar spiritualnya sesuatu yang general. Misalnya, di situ kan olah meditasi yang akhirnya memberikan blessing (kedamaian) kepada dunia. Ini seperti sholat kan? Bila waktu tahiyat akhir itu ada salam ke kanan dan ke kiri. Nah di waktu salam terakhir itu, kita dianjurkan untuk tersenyum kan? Nah ini dalam bahasa jawanamanya mewayuning ayuning bawono.

Adakah perbedaan dari pelbagai komunitas spiritual yang anda ikuti?
Tentunya ada. Misalkan dalam sholat. Dulu, saya dua tahun di Semarang, sementara keluarga di Jakarta. Setiap malam, saya banyak shalat malam, terutama bila menghadapi pelbagai persoalan yang sulit dipecahkan. Segala yang menjadikan saya pusing itu saya ajak untuk sholat. Membaca bacaan-bacaan sholat dengan penuh kepasrahan. Alhamdulillah setelah sholat saya sembuh. Tapi itu berat sekali. Karena harus membutuhkan konsentrasi penuh. Nah hal ini, sebenarnya sama saja dengan di Perguruan Perana yang mengutamakan meditasi dan konsentrasi untuk tujuan tertentu yang tentunya baik. Jadi dalam hal ini, saya melihat ada hubungannya. Misalkan kalau di Perguruan Perana itu kan melihat kekuatan kita. Begitu kita membayangkan Ka’bah, tenaga kita menjadi makin besar. Jadi ada nilai universalnya. Karena di Perguruan Perana juga selalu dihubungkan dengan Ketuhanan.

Tidak ada perbedaan dengan sholat?
Ada. Yaitu tingkat kepasarahan.

Dengan meningkatnya spiritualitas anda, apakah juga meningkatkan kinerja anda sebagai Deputi Gubernur?
Persisinya saya tidak tahu. Mungkin secara positif, ada. Tapi saya tidak pernah menghubungkannya. Tapi intinya saya bekerja menjadi lebih ikhlas. Kalau bekerja lebih ikhlas, tentunya pekerjaan akan menjadi lebih baik kan? Gitu aja prinsipnya. Saya tidak bisa mengukur diri saya. Susah. Tapi saya berusaha bekerja tanpa pamrih dan lillahi ta’ala. Gitu sajalah. Saya bekerjanya amar makruf nahi mungkar yang kadang-kadang tak semua orang bisa melakukannya. Yah, di antaranya mungkin karena spiritualitasme. Bila kita sudah punya dasar tapi bila diasah terus dengan baik, akhirnya kan akan menjadi lebih tajam.

Sesuatu yang belum anda capai saat ini apa?
Apa ya? Kalau saya, untuk masalah dunia tampaknya tidak ada. Karena saya tidak punya keinginan terlalu muluk. Saya ingin menjalani hidup ini apa adanya saja.

Ada yang mengatakan, kebahagiaan itu ada empat: kasih sayang, prestasi/harta kekayaan, spiritualitas dan meninggalkan kenangan terindah bagi generasi sesudahnya. Kira-kira di antara keempat hal ini apa yang belum anda capai?
Barangkali spiritual. Karena saya ingin bekerja dan mengabdi dengan ikhlas. Bila harta... bukannya saya sok, tapi saya tidak terlalu memikirkannya terlalu dalam. Misalkan kalau saya kehilangan sesuatu, kalau Tuhan memang menghendakinya... ya apa boleh buat? Tak masalah.

Kalau poin keempat?
Kalau itu jelas. Dan itu harus diupayakan terus.

Upaya-upayanya?
Antara lain, dulu itu saya mengajar di beberapa perguruan tinggi/lembaga pendidikan seperti IPPM, Universitas Bina Nusantara, Universitas Diponegoro dan Institut Bisnis Indonesia. Nah, dalam mengajar itu kan harus ikhlas. Dan untuk orang-orang tertentu ini susah. Bila saya, saya bersyukur karena saya tidak punya obsesi yang kuat tentang dunia.

Tidak ada keinginan karena semuanya sudah tergapai atau bagaimana?
Oh tidak-tidak. Kalaupun saya misalnya tidak menjadi Deputi Gubernur, ya tidak apa-apa. Jadi saya hanya berusaha mengabdi dan beribadah dengan apa adanya. Nah mengenai tingkat kebahagiaan yang keempat, antara lain saya menangani kredit kecil, agar masyarakat bawah bisa sepadan dengan masyarakat kaya seperti yang ditegaskan dalam UUD 1945. Itu kalau yang ingin disebut keinginan yang belum dicapai.

Selain itu?

Kalau di kantor, diskripsi jabatan saya itu kecil sekali. Saya ingin melampaui diskripsi jabatan tersebut. Dan sekarang saya banyak bertemu dengan orang-orang di luar, mengajak teman-teman seperti para penguasaha. Tidak sekedar bicara sektor formal atau untung-rugi, tapi juga bagaimana bicara mengajak masyarakat kecil bisa ikut bekerja bersama.

Kalau tadi banyak bicara ikhlas, sebenarnya menurut anda ikhlas itu pemberian atau sesuatu yang harus diperjuangkan?
Ikhlas itu harus diusahakan pada semua orang. Jadi bukan pemberian. Bukan apa adanya. Yah... bolehlah bila menggunakan bahasa anda, yaitu diperjuangkan.*


Wawancara dengan S Budi Rochadi, Deputi Bank Indonesia Jakarta
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

“SILATURRAHMI SEBAGAI KOMUNIKASI PRODUKTIF”

DARI sudut pandang sosiologi, silaturrahmi adalah interaksi yang dijalin antar indvidu dalam sebuah komunitas yang bisa memunculkan understanding (pemahaman bersama), dan pada saat yang sama juga melahirkan transbuilding (saling percaya). Selanjutnya diharapkan akan muncul sinergi untuk menggalang cita-cita bersama. Jadi ukhuwah itu sarana membangun modal sosial. Dalam hal ini ada ayat Al Qur’an yang menggambarkan bahwa Allah menciptakan manusia bersuku-suku, laki-perempuan dan seterusnya untuk saling kenal-mengenal.
Interaksi masyarakat komunal itu face to face. Karena pekerjaan, tempat tinggal dan lingkungannya sama. Itu merupakan interaksi yang membangun budaya. Sementara dalam masyarakat modern, interaksi face to face sulit dilakukan karena situasi dan kondisinya. Tapi biasanya dijembatani dengan telp, sms dan lainnya. Understanding dan trust dalam interaksi adalah modal dasar untuk melakukan sinergi atau gotong royong. Ada perbedaan gotong royong antara masyarakat paguyuban dan patembayan. Dalam masyarakat patembayan, gotong royongnya lebih pada hubungan profesional dan harus dilandasi ikatan kontrak berupa MoU. Sementara pada masyarakat paguyuban itu lebih loose (longgar) dan tidak perjanjian tertulis.
Sebenarnya, gotong royong itu universal. Di India atau di Amerika, yang namanya masyarakat pedesaan itu tidak kalkulatif. Jadi tidak unik Indonesia. Tapi bahwa di Indonesia gotong royong merupakan suatu yang dominan, ya memang kita masyarakat kerabat. Bahkan satu kampung bisa saudara semua.
Di Indonesia, gotong royong antara desa dan kota berbeda. Dan di kota juga ada perbedaan antara kampung dan daerah seperti Menteng ini. Di dekat sini ada kampung Bonang dan intensitas gotong royongnya masih terasa. Karena interaksi face to face-nya masih intensif. Tapi beda dengan di Menteng ini. Misalkan saya dengan tetangga di depan itu hampir tidak pernah ketemu. Karena situasi dan kondisinya memang berbeda, tak selalu bertatap muka secara langsung karena sudah diblok dengan pagar. Ini juga dialami keluarga yang kerabatnya berpencar di mana-mana, baik di Indonesia atau di Amerika dan Eropa. Di Amerika, kerenggangan ini biasa dijembatani dengan moment yang bisa mengumpulkan seluruh keluarga, yaitu Thank Giving Day. Ini merupakan sejarah di mana orang Eropa datang dan disambut oleh orang Indian dengan sajian makanan kalkun. Itu kemudian menjadi tradisi. Ini sama dengan kita bila tiba Idul Fitri. Ada tradisi mudik lebaran, media untuk mengintegrasikan communal feelling yang terpecah karena situasi dan kondisi.
Ada perbedaan antara silaturrahmi dari dimensi sosiologis dan silaturrahi dari dimensi teologis. Dua pengertian ini bisa disebut ayat kauniyah dan qouliyah. Nah ayat kauniyah ini sudah saya katakan tadi. Kalau qauliyah, itu bertolak dari fenomena sosial seperti tadi terus ditambah dengan ukhuwah yang didasarkan pada semangat beribadah, memperkuat komitmen dan menumbuhkan rasa keberagamaan hingga menumbuhkan komunitas religius. Jadi ada spirit agama. Sama saja dengan anak-anak yang pulang kampung. Mereka tak sekedar memperkuat kerekatan antara anak dan orang tua semata, tapi pada saat yang sama juga terjadi check dan recheck tentang spiritual conditionnya. Karena tujuan hidup itu kan tak sekedar cari makan dan berteman, tapi juga bagaimana struggle untuk menetapi sebuah visi-misi yang bersifat sangat pribadi (agama), tapi pada saat yang sama juga kolektif. Makanya juga mengenal jamaah. Nah, jamaah itu kan sebenarnya memperkuat visi-misi keagamaan individu secara kolektif. Sehingga ukhuwah itu mempunyai dimensi spiritual collective.
Sekarang, bisakah silaturrahmi itu mempengaruhi peradaban? Ada istilah human capital, orang punya profesi dan kemampuan sendiri-sendiri. Pada saat mereka bergabung, maka daya rubahnya menjadi lebih besar. Misalkan seorang insinyur atau civil engineer bertemu dengan pemodal dan scientist untuk melakukan kerja bersama. Nah ukhuwah dalam terjemahan seperti ini bila ditransformasikan dalam agenda kerja, akan melahirkan social capital. Bila kuat ukhuwah dan makin besar jaringan ukhuwahnya, harusnya secara teoritis bisa melakukan kerja bersama dan menciptakan perubahan. Tapi bila ukhuwahnya hanya sebatas kangen-kangenan tanpa ada action plan, maka yang muncul hanyalah kerumunan. Bukan barisan.
Menuju masyarakat barisan itu tak mudah. Butuh manajemen, keahlian dalam organisasi dan pemahaman tentang team work. Tapi orang bertemu atas nama ukhuwah tidak selalu menjadi team work. Dan team work juga tak selalu menjadi action. Apalagi melahirkan hasil yang memuaskan. Jadi ada tahapan-tahapannya.
Misalkan kita ingin memajukan komunitas kerumunan menjadi barisan. Dalam masyarakat barisan itu kan ada pembagian tugas (division of labor), ada pemimpin yang bisa dipilih secara teratur, bergilir dengan batas tertentu. Berikutnya ada mekanisme kerja, salah satunya dari sudut keuangan itu harus ada audit. Terus ada program kerja yang dirancang secara bersama-sama. Bukan prgram tokoh tertentu. Tapi seluruh anggota terlibat di dalam merancang dan melaksanakan program.
Sekarang kita diskusi soal ukhuwah. Misalkan, saat ini banyak komunitas pengajian yang tampaknya diisi oleh orang-orang kota. Tapi apakah di dalamnya selain ada ukhuwah emosional juga ada ukhuwah fungsional? Orang datang dan bertemu itu kan lebih pada emosional attachment. Tapi tidak hanya itu yang saya maksud. Ok, emosional attachment itu penting tapi juga harus ditranformasikan ke dalam fungsi: untuk apa kita bertemu?
Dalam idul fitri, idealnya itu ada dua dimensi, dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Tapi setelah kita breakdown tadi, ternyata dimensi horisontal hanya mengarah pada emosional attachment, tidak functional attachment. Itu yang menjadi problem. Sehingga pertemuan itu hanya berisi kangen-kangenan.
Barangkali, itu karena kita seringkali terjebak dalam ritualisme tanpa spiritualisme. Misalkan dalam bentuk yang lebih mikro, waktu orang tua terhadap anak kan ada dua pendapat, quality time atau quantity time? Ada yang berpendapat hendaknya kita ini memberikan waktu yang selonggar-longgarnya kepada anak. Tapi ada juga yang bilang, banyak waktu tapi bila tidak ada kualitasnya kan tidak bermakna? Nah ukhuwah juga begitu. Ukhuwah sering dilakukan, tiap hari dan tiap minggu. Tapi problem qualitynya di mana?
Memang di situ ada emosional quality seperti curhat, heart to heart interaction hingga nangis-nangis. Tapi functional quality yang lebih konkrit bagaimana? Apakah nangis-nangis itu bisa nolongin bayar hutang? Apakah bisa ikut kerja melakukan sebuah agenda konkrit untuk economic empowerment, misalkan. Jadi hal itulah yang harus dijabarkan. Sehingga bisa menumbuhkan kesalehan sosial dan bisa mensupport peradaban.

Wawncara dengan Imam B Prasojo (Sosiolog UI)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

“SHILATURRAHIM BAGIAN PERADABAN ISLAM”

Apa makna shilaturahim dalam Islam?
Dalam Islam, shilaturahim itu bukan basa-basi, tapi bagian penting dari kehidupan beragama. Karena Rosulullah pernah ditanya, Islam bagaimana yang paling baik? Ketika itu Nabi baru datang di Madinah, beliau menjawab, yang utama dalam Islam adalah liinul kalam (tutur kata yang lembut), wa ifsyaul kalam (menyebar kedamaian), shillatul arham (membina dan mengembangkan hubungan kekeluargaan), dan ith’amu tho’am (memberi makan orang-orang yang lapar). Jadi rukun Islam yang lima yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji ditambah empat lagi yang disebutkan tadi, itulah gambaran Islam yang lebih sempurna.
Keempat jawaban Nabi itu menyangkut kepedulian kita pada masyarakat, tak kecuali yang namanya shillatul arham atau shilaturahim. Ini sangat penting diterapkan dalam kehidupan masyarakat, baik di tingkat yang paling kecil bernama keluarga hingga masyarakat yang lebih besar di luar keluarga semisal bangsa dan bahkan antar bangsa.
Jadi begitu gambarannya. Sehingga dengan adanya shilaturahim, ukhuwah Islamiyah, wathoniyah dan basyariyah akan mudah terbentuk.
Dalam bulan Ramadhan, ada pentunjuk-petunjuk untuk meningkatkan shilaturrahim. Jadi tidak terbatas pada puasa, tarawih, tadarus al Qur’an dan lainnya yang biasa disebut dengan paket Ramadhan. Tapi juga termasuk di dalam Ramadhan adalah pengembangan shillaturahim. Allah sendiri memberikan satu arahan pada beberapa ayat yang membicarakan puasa dan segala rangkaiannya dalam surat al Baqarah ayat 183-189. Di situ diselipkan satu ayat mengenai betapa pentingnya menjalin keakraban. Keakraban pertama adalah keakraban dengan Allah, yakni wa idza saalaka ‘ibadzi ‘anni, fainni qoriib (kalau kamu—Muhammad dan para orang beriman—bertanya tentang Allah, katakan bahwa Allah itu akrab). Allah itu akrab/dekat dan selalu siap menerima permohonan orang-orang yang memohon. Itu salah satu rangkaian dalam ajaran Islam yang berbicara mengenai puasa. Jadi saat orang Islam menunaikan ibadah puasa, patut kita gugah kesadaran berakrab-akaraban, baik kepada Allah maupun pada sesama. Adapun yang sesama itu namanya shilaturrahim.
Tapi saat ini, bagi bangsa Indonesia, shilaturrahim kita belum optimal pelaksanaannya. Karena yang terjadi masih antar orang perorang. Seharusnya ada kesungguhan mengembangkan shilaturahim, baik golongan, kelompok, ormas atau partai di Indonesia. Karena di negeri tercinta ini masih banyak kekalutan dalam kehidupan bermasyarakat yang terjadi karena adanya komunikasi yang tidak sambung. Bukan sekedar antarindividu tapi juga terjadi antargolongan, etnis, agama dan partai. Sehingga kehidupan bermasyarakat tidak bisa dinikmati dengan baik. Keakraban, kerukunan dan kedamaian terasa mahal.
Berangkat dari penjelasan anda, bisakah shilaturrahim itu diklasifikasikan menjadi beberapa macam, seperti shilatul fikri, shilatul rizki hingga shilatul ruh?
Ya, benar. Ungkapan saudara itu memang tercangkum di dalamnya. Karena misalkan anda mengatakan ada shilatul fikri atau shilatul afkar, artinya ada keterbukaan menerima pemikiran orang lain dan begitu pula sebaliknya. Ini merupakan bagian penting dalam kehidupan bersama, karena bisa meminimalisir terjadinya konflik.
Dalam Islam, perbedaan pendapat itu biasa dinamakan ikhtilaf ar ro’yi. Kata ikhtilaf sendiri banyak disebut dalam Al Qur’an. Dalam kitab suci itu, perbedaan lebih banyak diletakan pada segi positifnya. Sementara manusia banyak mempersepsikan perbedaan sebagai sesuatu yang negatif.
Dalam Al Qur’an, misalkan ada ungkapan ikhtifalul laili wa nahar (perbedaan malam dan siang). Ini fenomena alam di mana manusia terlibat di dalamnya, hidup di antara siang dan malam. Selain itu ada juga ungkapan, ikhtilaful alsinatikum wa alwanikum (perbedaan bahasa dan warna kulit kalian). Ini juga bagian dari kehidupan alamiah. Dan kita harus mampu menjadikannya sebagai pelajaran, bahwa kita harus mampu hidup di alam perbedaan-perbedaan itu agar kita bisa lebih menikmati kehidupan ini.
Beberapa kategori shilah yang anda katakan tadi, menurut saya merupakan satu rangkaian kesatuan, bukan bediri sendiri. Soal rizki seperti kaya-miskin, atau sosial seperti profesi itu kan satu paket kehidupan. Jadi semua itu harus diletakkan pada posisi ikhtilaf yang positif. Nah hal ini sesuai dengan jawaban Nabi di atas, yaitu ith’amu tho’am, liinul kalam dan ifsyaul salam. Jadi harus simultan. Itu semua satu paket shilaturrahim.
Apakah bisa dikatakan bahwa persolan sosial itu terjadi selain karena kurangnya shilaturahim dalam arti subtantif, juga karena rendahnya tingkat spiritual bangsa?
Dalam islam, bicara tentang rendah tingginya tingkat spiritual, itu mengacu pada iman. Sementara indikator spiritualas yang sehat dan baik, adalah berfungsinya iman pada diri seseorang. Ada salah satu petunjuk yang jelas dari Rosulullah ketika ditanya tentang mukmin, yaitu almukminu man aminahu annas ‘ala dimaa’ihim wa amwalihim (orang yang mukmin adalah mereka yang oleh masyarakat mendapat kepercayaan bahwa mereka tidak mengganggu kemanan dirinya dan harta bendanya). Jadi salah satu indikator iman itu adalah menjadi kepercayaan orang lain. Orang lain tidak terganggu dari segala sikapnya, termasuk pembicaraannya. Atau dengan kata lain, seorang yang beriman harus mampu menciptakan lingkungan kehidupan yang aman. Nah itu salah satu indikator keimanan. Itulah spiritual menurut pandangan Islam.
Artinya shilaturrahim bisa meningkatkan spiritual seseorang?
Benar sekali. Karena itu saya katakan bahwa shilaturrahim itu bukan basa-basi dan semboyan politik. Tapi satu bagian penting dari ajaran Islam.
Adakah perbedaan shilaturrahim dalam idul fitri dan di luar idul fitri?
Saya kira shilaturrahim di mana-mana itu satu. Cuma idul fitri itu dijadikan momentum di mana shilaturrahim ditonjolkan sedemikian rupa sehingga menjadi acara utama. Seperti misalnya kalau kita di Indonesia ada acara formal bernama halal bil halal, itu merupakan lembaga shilaturrahim.
Jadi maknanya tetap sama. Jadi meski di luar Idul fitri, shilaturrahim harus tetap terbina terus.
Bisakah kemudian dikatakan bahwa shilaturrahim merupakan media untuk mensupport peradaban Islam?
Oh ya tentu. Shilaturrahim itu merupakan bagian penting dari peradaban Islam. Tapi yang disesalkan, sejauh ini shilaturrahim tidak terbina secara optimal. Ini merupakan salah satu kesalahan. Padahal pada waktu Rasulullah dan para sahabat itu, shilaturrahim sangat terjaga. Sementara orang-orang non muslim juga merasa aman di tengah-tengah masyarakat muslim, mulai zaman Rasulullah hingga zaman kekhalifahan.*

Wawancara dengan Prof KH Ali Yafie (Mantan Rektor IIQ Jakarta)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV